Benteng Jungpandang Pusat Kerajaan Makassar
Dr. Edward L. Poelinggomang |
MAKASSAR.ARUNGSEJARAH.COM - Benteng Jungpandang Pusat Kerajaan Makassar.
Setelah membentuk persekutuan pemerintahan, para penguasa kerajaan menggagas kebijakan untuk menjadikan Bandar niaga mereka ,menjadi pusat perdagangan maritim.
Keinginan itu didasarkan pada perkembangan perdagangan maritim ketika itu yang berkembang pesat akibat tindakan eksodus yang dilakukan oleh pedagang Melayu akibat Bandar niaga Malaka diduduki oleh bangsa Portugis.
Sehubungan dengan itu dicanangkan perluasan pengaruh kekuasaan khususnya terhadap kerajaan-kerajaan pesisir yang terlibat dalam perdagangan maritim., seperti Garassi, Kantingang, Parigi, Siang, Suppa, Sidenreng, Lembangang, Bulukumba, dan Selayar.
Perluasan pengaruh itu dimaksudkan untuk
memaksa kerajaan-kerajaan itu melakukan perdagangan maritime ke Bandar niaga
Tallo dan Sombaopu. Kerajaan Gowa-Tallo berhasil menaklukan kerajaan-kerajaan
pesisir itu dan mendorong mereka menjalin hubungan perdagangan maritime dengan
Bandar Sombaopu dan Tallo.
Selain itu, perluasan pengaruh kekuasaan itu mendorong penguasa Kerajaan Makassar untuk membangun pusat pemerintahan yang netral untuk Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo, Itu berarti dua kerajaan yang bersekutu itu tidak memilih salah satu dari dua pusat pemerintahan kerajaan itu (Sombaopu atau Tallo).
Hal itu yang mendorong dua pemegang kemdali politik membangun pusat
pemerintahan yang baru yang dikenal dengan nama Benteng Jungpandang. Dalam
benteng inilah dibangun istana Kerajaan Makassar. Benteng ini dibangun pada
tahun 1545, pada periode pemerintahgan raja dan mangkubumi Kerajaan Makassar
yang pertama.
Sudah merupakan tradisi politik kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan untuk
menyediakan lahan pertanian yang subur untuk dijadikan sawah kerajaan, yang
dalam tradisi kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan disebut “sawah kebesaran” (buta kalompoang atau tana arajang). Sawah kebesaran Kerajaan Gowa-Tallo atau Kerajaan
Makassar itu yang dikenal dengan Karebosi.
Areal sawah itu disiapkan untuk memenuhi kepentingan pilitik dalam hubungan dengan kerajaan-kerajaan taklukan. Raja daerah taklukan dan para pengikutnya yang datang menunjukan kesetiaannya dan ketaatannya diwajibkan melaksanakan kewajibannya untuk menanami areal persawaan itu.
Kewajiban yang dikenal dengan istilah kasuwiyang (pengabdian yang mengandung unsur ritual) Sang raja daerah taklukan berdiri dekat vandelnya (bendera kerajaannya) yang berkibar agar dapat diamati oleh penguasa kerajaan Makassar dan rakyatnya, sementara para pengawalnya turun ke sawah dan menamam padi.
Jika pada saat kegiatan itu berlangsung turun hujan lebat, baik raja
taklukan maupun para pengawalnya tetap terus memenuhi kewajiban mereka, sebagai
bukti bakti kesetiaan dan ketaatannya. Penggunaan areal sawah itu untuk
pembuktian ketaatan dan kesetiaan para raja-raja daerah taklukan dan tetap
berdiri dan melaksanakan kewajiban walaupun mereka diguyur hujan lebat itu,
menjadi dasar penamaan areal persawahan itu Karebosi.[1] Matthes menyatakan bahwa Karebosi itu secara harafiah
berarti regen-vorsten atau dengan
kata lain aan den regen bloodgestelde
kare’s of karaeng’s (para kare
atau karaeng tetap berdiri tegak dan
terbuka pada guyuran hujan).
Dalam benteng ini dibangun istana yang megah dan menjadi istana penguasa kerajaan menerima kehadiran para penguasa kerajaan taklukan Kerajaan Makassar yang datang membawa upeti (persembahan tanda takluk) dan menunjukan kesetiaan mereka dengan mengelolah sawah kerajaan (Karebosi).
Istana dalam Benteng Jungpandang itu juga menjadi menjadi tempat penguasa
kerajaan Makassar menerima duta-duta dari kerajaan sahabat dan menjadi tempat
pertemuan dewan hadat kerajaan Makassar untuk membicarakan kebijakan politik.
Usaha perluasan pengaruh kekuasaan dan dorongan agar para pelaut dan pedagang dari bandar kerajaan lain ikut meramaikan kegiatan perdagangan di bandar Kerajaan Makassar (Tallo dan Sombaopu) ternyata tidak banyak merangsang pertumbuhan perdagangan di Tallo dan Sombaopu.
Kenyataan itu mendorong raja Makassar II (Raja Gowa X), I Mariogau Daeng Bonto Karaeng Lakiyung Tunipalangga Ulaweng (1546-1565) bersama para pejabat dan dewan hadat merancang kebijakan baru untuk memajukan bandar niaga mereka.
Kebijakan itu, dalam studi saya, saya sebut sesuai dengan gagasan yang dibangun oleh raja itu, yaitu Makannama nu Mamio (Aku bertitah dan kamu mentaati).[2] Kebijakan ini pada dasarnya terpaut pada pemikiran bahwa untuk memajukan suatu bandar niaga, jangan membiarkan bandar niaga di sekitarnya berkembang.
Itulah sebabnya penguasa Kerajaan Makassar kembali melakukan tindakan penaklukan terhadap kerajaan-kerajaan yang dahulu telah ditaklukan oleh raja sebelumnya, dan mengangkut semua orang dan barang dari penduduk bandar kerajaan yang ditaklukan itu ke Tallo dan Sombaopu dan menempatkan mereka pada area yang kosong yang berada antara bandar Tallo dan bandar Sombaopu.
Pemukiman penduduk daerah taklukan itu berakibat orang tidak
dapat membedakan lagi batas bandar Tallo dan bandar Sombaopu, karena areal
bandar telah menyatu. Itulah sebabnya para pedagang yang mengunjungi daerah ini
hanya menyebutnya Makassar.
Kemajuan dalam perdagangan maritime berkat kebijakan itu menempatkan Benteng Jungpandang dan Karebosi adalah simbol keagungan Makassar, baik sebagai bandar niaga internasional maupun sebagai kerajaan yang memegang hegemoni perdagangan maritim di kepulauan Indonesia.
Anthony Reid, setelah melakukan penelitian awal perkembangan perdagangan Makassar para periode awal, menyatakan bahwa kemajuan yang dicapai oleh Makassar adalah kisah keberhasilan yang tiada bandingnya dalam sejarah Indonesia. Makassar pada abad ke 17 telah menjadi satu-satunya bandar transito internasional terpenting di Asia Tenggara.
Di kota
ini terdapat sejumlah besar loji negara asing,
diantaranya: Portugis (1532), Belanda (1605), Inggeris (1613), Spanyol (1615) Denmark (1618), dan Cina (1618). Penguasa kerajaan
juga memiliki loji di sejumlah pusat pedagangan lain, seperi di Banda, Manila,
dan Macao.
Fungsi yang diperuntukan bagi pembangunan benteng Jungpandang itu menjadi dasar penguasa membangun benteng itu dengan kokoh. Luas areal benteng itu mencapai 28.595,55 meter persegi. Tinggi dinding benteng yang terrendah adalah 5 meter dan yang tertinggi adalah 7 meter, dengan ketebalan dinding rata-rata 2 meter.
Dinding itu dibangun dengan cara menyusun balok-balok batu padas yang telah
dipahat rapi sehingga kokoh dan bertahan hingga kini.[3]
Peninggalan sejarah, bukti keagungan kerajaan Makassar ini kiranya mendapat
perhatian untuk direstarikan.
Kemajuan yang dicapai Makassar dalam dunia perdagangan maritim, (keberhasilan menempatkan Makassar menjadi satu-satunya bandar transito internasional), menyebabkan kedudukannya selalu dironrong oleh VOC (Verenigde Oost-Indie Compagnie) yang lazim disebut saja Kompeni Belanda.
Keinginan Kompeni untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah tidak dapat terwujud karena kegiatan perdagangan maritim yang dikelolah oleh Kerajaan Makassar. Persoalan ini akhirnya menghantar dua kelompok itu terlibat dalam perang besar yang disebut Perang Makassar (1666-1667; 1668-1669).
Pada babakan perang yang pertama (1666-1667), pihak penguasa Makassar dan sekutu-sekutunya harus mengakui keunggulan dan bersedia menandatangani perjanjian perdamaian yang disebut Perjanjiang Bungaya (Bungaais Verdrag).
Salah satu butir
perjanjian itu yang dirancang oleh Cornelis Speelman untuk menyimbolkan
keruntuhan Kerajaan Makassar adalah menetapkan benteng Jungpandang harus diserahkan
kepada VOC untuk dijadikan markasnya.
Selanjutnya.... Fort Rotterdam Pusat Kekuasaan Pemerintah Kolonial - Arung Makassar (arungsejarah.com)
[1] Baca Matthes. 1943. “Boegineeshe en Makassarsche
Legenden”, dalam: H. van den Brink, Dr. Benjamin Frederik Matthes. Zijn
leven en arbeid
in dienst van het Nederlandsch Bijbelgenootschap, (Amsterdam: Nederlandsch
Bijbelgenootschap), hal 413. Baca juga: Edward L.
Poelinggomang, 2008, “Karebosi dan Peta
Kota Makassar” (Makassar: Makalah seminar).
[2] Edward L. Poelinggomang, 2002,
op.cit., hal.25.
[3] Baca: Aminah, 1975. Benteng
Rotterdam (Ujung Pandang: Kantor Cabang II Lembaga Sejarah dan Antropologi
Ujung Pandang).