Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Uang, Komoditas, dan Jaringan Perdagangan Maritim Makassar Abad XVI (5)

Uang, Komoditas, dan Jaringan Perdagangan Maritim Makassar Abad XVI,Makassar, macassar, makasser, somba opu, tallo, Gowa-Tallo, benteng rotterdam, fort rotterdam, pelabuhan makassar, bank makassar, Peta Kerajaan Makassar pada Abad ke-17 Nationaal Archief (www.gahetna.nl), kerajaan gowa tallo, karaeng bainea, karaeng baineya, karaeng bayo, Karebosi Dalam Peta Kota Makassar, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Tallo dan Sombaopu, Kerajaan Tallo dan Kerajaan Gowa, Sejarah Makassar, Sejarah Kota Makassar, Jejak Makassar dalam Catatan Portugis, Sejarah kerajaan Makassar, sejarah kerajaan Tallo, asal mula kerajaan tallo, perang makassar, idwar anwar,  arung makassar, karaeng makassar, karaeng loe, karaeng tallo, karaeng gowa, bandar makassar,pelabuhan makassar,
Uang Jinggara yang beredar di Kesultanan Gowa-Tallo

MAKASSAR.ARUNGSEJARAH.COM - Uang, Komoditas, dan Jaringan Perdagangan Maritim Makassar Abad XVI (5).


VOC yang berupaya memonopoli perdagangan di Kepulauan Nusantara, kemudian meminta izin Raja Belanda untuk mencetak mata uang real baru dengan ukuran, berat dan kadar yang sama untuk menandingi popularitas real Spanyol. Sekitar awal abad ke-18, kedudukan real Spanyol tergeser dan mulai langka. 

Sesungguhnya VOC di Batavia tidak memiliki mata uang sendiri, dan membuat uang merupakan hak kedaulatan VOC yang pelaksanaannya secara ketat berada dalam pengawasan Staten Generaal. Tidak mudah untuk mencetak uang VOC sendiri karena penuh dengan regulasi dan persetujuan dari Heeren XVII. 

Walaupun real Spanyol lebih populer sebagai alat pembayaran perdagangan internasional, namun dalam penggunaan sehari-hari, uang picis Cina lebih digemari. Ketika menancapkan pengaruhnya di Jawa pada 1633, VOC melihat bahwa uang picis mudah ditemukan dan diperoleh dari pedagang Cina di Batavia. 

Mereka mengetahui uang picis bukan hanya diperoleh dari negeri Cina langsung melainkan bisa dibuat di Jawa, khususnya di Banten, Cirebon dan Jepara. VOC mengambil keuntungan dari kegiatan tersebut dengan memberikan timah kepada orang Tionghoa untuk dibuat picis sehingga VOC bisa mendapatkannya dengan harga lebih murah. 

Usaha ambil untung VOC tersebut terhenti ketika Inggris menyediakan timah dengan harga yang lebih murah. Setelah itu VOC beralih ke mata uang tembaga sebagai sarana dasarnya untuk memasuki perekonomian di Asia.

Peredaran mata uang yang beragam juga memengaruhi nilai mata uang setiap wilayah sehingga ketika bangsa Eropa melakukan perdagangan di Nusantara mereka mengalami kesulitan bertransaksi menentukan harga. 

Hal itu terjadi karena dualisme penggunaan mata uang. Para pedagang Eropa, termasuk VOC, melakukan transaksi perdagangan menggunakan uang real Spanyol atau mata uang Eropa lainnya, sementara masyarakat pribumi menggunakan uang lokal sesuai dengan daerah masing-masing. 

Orang-orang Eropa menggunakan mata uang real Spanyol untuk transaksi yang berkaitan dengan barang-barang ekspor, sementara masyarakat biasa menggunakan uang lokal dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi dan transaksi perniagaan sehari-hari sehingga masyarakat pribumi tidak pernah ikut terlibat dalam perdagangan yang bersifat internasional atau modern. Standar uang dalam perniagaan menjadi tidak baku antara pemerintah dengan masyarakat. 

Pada umumnya, dalam bertransaksi sehari-hari, masyarakat perdesaan masih menggunakan uang kepeng atau picis, kekayaan orang desa lebih banyak disimpan dalam bentuk barang (emas) atau tanah. Investasi yang besar terhadap barang atau tanah mengakibatkan orang desa jarang memegang uang secara kontan. 

Perbedaan dalam memandang uang membuat bumiputra terkalahkan oleh orang Eropa dalam persaingan perniagaan yang bersifat nasional apalagi internasional. Hal itulah yang menjadikan sebagian besar masyarakat bumiputra pada waktu itu hidup dalam dualisme ekonomi yaitu barter dan pasar.

Kerumitan mata uang dalam bertransaksi dagang yang dirasakan VOC di wilayah Nusantara melahirkan ide untuk menggunakan mata uang tunggal. Merasa bahwa mereka membutuhkan mata uang sendiri, serta untuk menandingi picis Cina pada awal abad ke-18, VOC mengedarkan mata uang mereka sendiri yang dikenal dengan duit sebagai alat pembayaran sah menggantikan picis atau cash. 

Dalam kurun waktu 1724 hingga 1795, VOC mengirimkan lebih dari 1,1 miliar koin tembaga pecahan kecil duit (Bahasa Belanda: doit) ke Jawa, dikapalkan langsung dari Negeri Belanda. Impor uang pecahan kecil dalam skala besar itu terlihat ganjil karena koin-koin itu terlalu kecil sebagai alat pembayaran perdagangan kompeni yang amat besar, yang biasanya dibayarkan dengan real Spanyol. 

Strategi VOC mencetak dan mengirimkan uang dalam pecahan kecil tampaknya sebagai kebijakan penetrasi moneter untuk memperluas penggunaan koin VOC dalam kegiatan ekonomi sehari-hari, seperti berdagang di pasar, untuk menyaingi kepopuleran picis Cina.

Pengiriman pertama koin duit pada 1720 bertujuan mempermudah sistem pembayaran di wilayah kekuasaan VOC. Wilayah edar pertama koin VOC adalah Batavia pada 1724. Setelah mendapatkan respon positif dari masyarakat Batavia, VOC berupaya memperluas distribusi koinnya ke beberapa tempat lain di Jawa sejalan dengan ekspansi teritorial kompeni. 

Pada 1733, VOC memperkenalkan duit di Keresidenan Priangan. Kemudian, pada pertengahan abad ke-18, mayoritas duit serupa dikirim ke kantor VOC di Semarang yang juga bertindak sebagai pintu gerbang pengiriman ke pedalaman Jawa, seperti wilayah Kerajaan Mataram.

Bersambung.... Uang, Komoditas, dan Jaringan Perdagangan Maritim Makassar Abad XVI (6) - Arung Makassar (arungsejarah.com)

Sebelumnya.... Uang, Komoditas, dan Jaringan Perdagangan Maritim Makassar Abad XVI (4) - Arung Makassar (arungsejarah.com)