Uang, Komoditas, dan Jaringan Perdagangan Maritim Makassar Abad XVI (4)
Uang Jinggara yang beredar di Kesultanan Gowa-Tallo |
MAKASSAR.ARUNGSEJARAH.COM - Uang, Komoditas, dan Jaringan Perdagangan Maritim Makassar Abad XVI (4).
BEBERAPA kerajaan seperti Kerajaan Kediri, Aceh dan Sulawesi memiliki uang logam dari emas; kerajaan di Bangka, Cirebon, Pontianak, Maluku dan Banten memiliki uang logam dari timah, perak dan tembaga. Pada awal abad ke-14 kerajaan-kerajaan di Nusantara sudah menggunakan uang dalam sistem perdagangannya. Perdagangan di Nusantara menggunakan berbagai mata uang lokal. Di Jawa dikenal mata uang lokal picis, kepeng, tail, di Aceh beredar dirham, di Malaka digunakan calais.
Di wilayah Sulawesi bagian selatan, terutama di Kesultanan Gowa-Tallo, beredar mata uang Kesultanan Gowa-Tallo yang disebut jinggara. Tidak banyak informasi yang tersedia mengenai uang ini. Uang itu dibuat dari bahan emas berbentuk bulat dengan diameter 15 milimeter, tebal satu milimeter, dan berat 0,6 gram. Pada bagian permukaan depan dan belakang uang itu bertuliskan huruf Arab. Tidak diketahui kapan uang itu beredar dan digunakan oleh masyarakat Makassar.
Selain mata uang lokal, mata rantai perdagangan di Nusantara diramaikan oleh peredaran mata uang asing yang masuk dan digunakan sebagai alat pembayaran. Kedua jenis mata uang ini, baik lokal maupun mata uang asing, merupakan peletak dasar komersialisasi yang makin meningkat di kawasan Nusantara setelah tahun 1400.
Salah satu mata uang asing yang sangat populer dalam mata rantai perdagangan Nusantara adalah mata uang Cina. Mata uang ini disebut uang cash tetapi orang Portugis menyebutnya caixa khususnya untuk mata uang tembaga Cina yang diekspor dan istilah tersebut juga digunakan oleh bangsa Eropa yang lain.
Sedangkan masyarakat Jawa menyebutnya dengan picis. Mata uang itu berbentuk bulat kecil mempunyai lubang persegi di tengahnya agar dapat diikat menjadi satu bundel senilai seribu puon, enam ratus atau jumlah lainnya yang lazim dilakukan pada waktu itu.
Memasuki permulaan abad ke-16, hampir semua transaksi perdagangan di Jawa menggunakan mata uang cash milik Cina. Ketersediaannya yang banyak dan mudah ditemui serta diterima oleh banyak bandar perdagangan membuat mata uang Cina terkenal di bandar-bandar kepulauan yang lain seperti Malaka dan Pasai pada awal abad ke-16.
Kepopuleran mata uang picis milik Cina semakin besar ketika larangan kaisar atas perdagangan Cina ke Selatan dihapus pada 1567 sehingga mengakibatkan arus masuk secara besar-besaran mata uang tembaga Cina.
Akibatnya, banyaknya uang yang beredar membuat khawatir pejabat Cina sehingga pada 1590 di Guangdong dan Fujian dibuat mata uang tembaga baru campuran dengan timah yang murah untuk selanjutnya diedarkan.
Pada 1596, melalui armada pertama Belanda, picis bermutu rendah ini beredar jauh ke pedalaman Jawa. Bermutu rendah, mata uang picis dari timah campuran itu mudah dipalsukan.
Kedatangan bangsa Barat pada abad ke-16 turut memperbanyak jenis mata uang yang beredar di wilayah kepulauan Nusantara. Hal tersebut menyebabkan peranan mata uang lokal semakin terdesak karena beredar tanpa tatanan dan kontrol yang jelas dan teratur.
Salah satu mata uang Bangsa Barat yang paling digemari secara luas adalah Spaanse matten atau real Spanyol.
Pada abad ke-17 tidak ada mata uang lokal yang dapat bersaing dengan real Spanyol sebagai uang internasional. Uang itu segera menjadi satuan hitungan untuk transaksi internasional.
Pada 12 Februari 1685, Gubernur Jenderal dan Dewan VOC di Batavia meminta kiriman uang kepada negeri induknya senilai 350.000 sampai 400.000 gulden; lebih disukai dalam bentuk real Spanyol, karena orangorang Jawa, Sumatera dan pulau-pulau sekitarnya lebih menyukai dan terbiasa menggunakan mata uang tersebut selama bertahun-tahun.
VOC yang berupaya memonopoli perdagangan di Kepulauan Nusantara, kemudian meminta izin Raja Belanda untuk mencetak mata uang real baru dengan ukuran, berat dan kadar yang sama untuk menandingi popularitas real Spanyol. Sekitar awal abad ke-18, kedudukan real Spanyol tergeser dan mulai langka.
Sesungguhnya VOC di Batavia tidak memiliki mata uang sendiri, dan membuat uang merupakan hak kedaulatan VOC yang pelaksanaannya secara ketat berada dalam pengawasan Staten Generaal. Tidak mudah untuk mencetak uang VOC sendiri karena penuh dengan regulasi dan persetujuan dari Heeren XVII.
Bersambung.... Uang, Komoditas, dan Jaringan Perdagangan Maritim Makassar Abad XVI (5) - Arung Makassar (arungsejarah.com)
Sebelumnya.... Uang, Komoditas, dan Jaringan Perdagangan Maritim Makassar Abad XVI (3) - Arung Makassar (arungsejarah.com)