Fort Rotterdam Pusat Kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda
Dr. Edward L. Poelinggomang |
Seusai penandatangan perjanjian itu, Speelman mendesak pihak kerajaan untuk membongkar istana yang dibangun dalam benteng itu. Desakan itu diabaikan saja namun karena terus-menerus didesak sehingga dengan terpaksa istana megah yang dibangun dalam benteng iru (terbuat dari bahan kayu) dibongkar oleh pihak kerajaan.
Tampaknya hal ini menimbulkan kemarahan dari sejumlah pejabat tinggi kerajaan, dan menjadi salah satu factor yang mendorong mereka bergiat mengorganisir kekuatan untuk melakukan penyerangan terhadap kedudukan VOC di benteng itu.
Babakan lanjutan dari perang Makassar itu (1668-1669) tetap dimenangkan oleh pihak VOC dan sekutunya. Speelman selanjutnya menggantikan nama benteng itu dengan penyebutan Fort Rottherdam (Benteng Rotterdam).
Nama itu disesuaikan dengan nama tempat kelahirannya, walaupun
demikian penguasa dan rakyat dari kerajaan-kerajaan yang datang ke Makassar
senantiasa menunjuk pada pusat istana Kerajaan Makassar yaitu Junpandang, yang dalam
perkembangan kemudian lebih lasim disebut Benteng Ujung Pandang.
Keberhasil VOC dan sekutunya itu kemudian disimbolkan pada Fort Rotterdam.. Bastion
di sebelah barat diberi nama Bastion Bone, sementara yang yang terletak pada
sudut barat daya disebut Bastion Bacan, yang terletak pada sudut barat laut
disebut Bastion Buton, yang terletak pada sudut bagian timur laut disebut
Bastion Mandarsyah, dan yang terletak pada sudut tenggara disebut Bastion
Amboina.
Admiral Cornelis Speelman menetapkan memiliki dan menguasai benteng Jungpandang dan daerah sekitarnya, termasuk tempat pertama dibangun loji Belanda yang dibangun melingkar seperti mata uang. Ia selanjutnya merancang kota baru dari runtuhan kota dagang Makassar pada tahun 1670. Fort Rotterdam dijadikan markas VOC.
Pada bagian utara dijadikan areal dagang dan dinamakan Negorij Vlaardingen dan pada bagian
utara pusat kegiatan dagang itu dibangun pemukiman orang Melayu yang disebut
Kampung Melayu. Pada bagian timur dari Vlaardingen dijadikan areal perkebunan
untuk kegiatan pertanian dari pegawai VOC yang ditempatkan di Fort Rotternam,
dan dinamakan Kebun Kompeni (KompagnieTuin).
Dalam perkembangan kemudian, untuk menjamin keamanan dan ketenteraman kegiatan pegawai VOC di kebun kompeni dan melindungi benteng Rotterdam, pihak VOC membangun sebuah benteng di bekas loji VOC yang dinamakan Fort Vredenberg, pada lokasi yang kini berdiri megah kantor Bank Negara Indonesia ‘46 (BNI 46).
Benteng ini oleh penduduk sering disebut Benteng-tanga, juga sering disebut benteng Rondai (ronde van de duit) karena menyerupai lingkaran mata uang. Sementara areal persawahan yang dinamakan Karebosi tetap tidak dimanfaat dan dijadikan areal lahan kosong dan mejadi lapangan yang oleh VOC dinamakan Lapangan Raja (Koning Plein).
Hal itu dimaksudkan untuk memudahkan petugas
keamanan yang bertugas pada Fort Vredenberg mengawasi gerak-gerik rakyat yang
selalu dicurigai akan melakukan penyerangan terhadap kedudukan VOC di Fort
Rotterdam. Pada periode VOC hingga awal pemerintahan Hindia Belanda, areal
antara Fort Rotterdan dan Fort Vredenberg tetap kosong tanpa ada bangunan.
Dalam perkembangan kemudian, ketika Pelabuhan Makassar dinyatakan menjadi pelabuhan bebas pada tahun 1847, areal Kebun Kompeni mulai dibangun gedung-gedung kantor perusahan asing. Kemajuan yang yang dialami oleh Makassar itu mendorong pemerintah Hindia Belanda juga mulai memindahkan tempat peribadaan (gereja) dalam Fort Rotterdam dan membangun sebuah gedung gereja (Indische Kerk) yang kini dikenal dengan nama Gereja Immanuel, yang terletak di Jalan Balaikota.
Pada tahun 1906, kota Makassar diberikan kedudukan sebagai kota
madya (gemeente staat). Sehubungan
dengan kedudukan itu pemerintah Hindia Belanda bergiat membangun satu gedung
kantor untuk pemerintah kota, yang letaknya sejajar dengan gedung gereja, yang
sekarang dimanfaatkan sebagai Museum Kota Makassar.
Gambaran ini menunjukkan bahwa benteng itu memancarkan gambaran kesejarahan Makassar, simbol keagungan Kerajaan Makassar (Kerajaan Gowa-Tallo) dan Bandar niaga Makassar. Keagungan itu terpatri pada kekokohan bangun benteng itu. Keagungan itu mengalami kemerosotan ketika bangsa asing menjajah, yang disimbolkan dengan bangunan tinggalan Belanda dan Jepang.
Menurut catatan lembaga peninggalan Sejarah dan Purbakala, dalam benteng itu terdapat 14 bangunan peninggalan Belanda dan 1 bangunan peninggalan Jepang. Sekarang seyogianya kita merajuk kemegahan kembali karena penjajahan dan penindasan telah berakhir.
Penduduk Sulawesi Selatan yang terlibat dalam kegiatan perdagangan maritim pada periode sebelum Perang Makassar senantiasa mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Makassar dan setelah Perang Makassar diidentifikasikan sebagai orang Bugis.
Pelaut dam pedagang dari Sulawesi Selatan ini dijuluki oleh seorang penyair Belanda sebagai “ayam-ayam jago kesayangan dari dunia Timur” (de Hantjes van het Oosten), karena mereka senantiasa memperjuangkan kebajikan bagi semua orang, karena keutuhan yang dibangun melalui pembentukan kesatuan pemerintahan yang utuh melalui kerajaan Makassar dan konvensi yang berlaku antara negara yang mengisyaratkan kekeluargaan.
Jika orang Gowa ke Bone dan bermalam maka ia
adalah orang Bone, demikian pula semaliknya. Hal ini berlaku pada semua warga
kerajaan yang lain di Sulawesi Selatan (termasuk Sulawesi Barat sekarang).
Selanjutnya.... Kisah Turunnya Tujuh Raja dari Kayangan di Karebosi: Jejak Gerakan Perlawanan Rakyat Terhadap Kolonial - Arung Makassar (arungsejarah.com)