Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Uang, Komoditas, dan Jaringan Perdagangan Maritim Makassar Abad XVI (2)

Uang, Komoditas, dan Jaringan Perdagangan Maritim Makassar Abad XVI,Makassar, macassar, makasser, somba opu, tallo, Gowa-Tallo, benteng rotterdam, fort rotterdam, pelabuhan makassar, bank makassar, Peta Kerajaan Makassar pada Abad ke-17 Nationaal Archief (www.gahetna.nl), kerajaan gowa tallo, karaeng bainea, karaeng baineya, karaeng bayo, Karebosi Dalam Peta Kota Makassar, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Tallo dan Sombaopu, Kerajaan Tallo dan Kerajaan Gowa, Sejarah Makassar, Sejarah Kota Makassar, Jejak Makassar dalam Catatan Portugis, Sejarah kerajaan Makassar, sejarah kerajaan Tallo, asal mula kerajaan tallo, perang makassar, idwar anwar,  arung makassar, karaeng makassar, karaeng loe, karaeng tallo, karaeng gowa, bandar makassar,pelabuhan makassar,
Uang Jinggara yang beredar di Kesultanan Gowa-Tallo

MAKASSAR.ARUNGSEJARAH.COM - Uang, Komoditas, dan Jaringan Perdagangan Maritim Makassar Abad XVI (2).


PADA 1767, misalnya, Gubernur Makassar memerintahkan kepala pelabuhan Makassar untuk melakukan penyelidikan mengenai ‘the collapse of our sales, and why it is that the native can obtain English goods in better quality and for a lower price than the Company is able to deliver’ (runtuhnya penjualan kami, dan mengapa orang pribumi mampu memperoleh barang-barang Inggris dengan kualitas yang lebih baik dan dengan harga lebih murah daripada yang perusahaan—dalam hal ini VOC— berikan). 

Setelah melakukan penelitian, kepala pelabuhan Makassar melaporkan bahwa menurunnya perdagangan Makassar disebabkan oleh masuknya “barang-barang Inggris” (berupa tekstil India, opium, dan persenjataan yang dibawa oleh pedagang Inggris ke Selat Malaka) yang “diselundupkan” ke berbagai daerah dalam jumlah besar. Sementara itu, para pedagang dari Sulawesi Selatan—terutama orang Wajo dan Mandar—membawa kain lokal untuk dijual di Riau guna mendapatkan dolar Spanyol. Selanjutnya dolar Spanyol digunakan membeli barang-barang Inggris di Kedah dan Selangor. 

Kelebihan orang-orang Bugis adalah bahwa mereka mengetahui selera pasar tekstil pada masyarakat Indonesia bagian timur, sedangkan Belanda selalu membawa tekstil dengan ukuran dan warna yang tidak laku di pasaran masyarakat pribumi. Juga dilaporkan bahwa para pedagang pribumi selalu menghindari pajak Belanda. Mereka lebih suka melakukan transaksi di pelabuhan-pelabuhan di luar kontrol Belanda. 

Hasilnya adalah bahwa mereka bisa menjual barang-barang impor tersebut lebih murah daripada yang dijual oleh VOC.55 Dengan cara begitu perahu dagang Bugis selalu bisa memuat rempah-rempah dari Maluku untuk dijual di luar Makassar. Dengan demikian ternyata penaklukan Makassar tidak memudahkan VOC untuk mengontrol perdagangan rempah-rempah Maluku. Bahkan VOC harus menghadapi lebih banyak pusat perdagangan yang setiap saat siap melakukan penyelundupan ke Maluku.

Kegagalan VOC tersebut dikondisikan oleh beberapa hal. Pertama, adanya ketidakmungkinan untuk melakukan pembatasan perdagangan ketika kombinasi motif mencari keuntungan dan faktor geografi menciptakan suatu dorongan untuk melakukan “penyelundupan” yang begitu kuat. Kedua, VOC memiliki kelemahan dalam pemasaran. 

Hal itu bersumber dari sikapnya yang selalu berorientasi pada pencarian keuntungan yang tinggi, ketidakmampuannya dalam membangun jaringan pasar tingkat lokal, serta pengabaiannya atas selera pasar di tingkat lokal. 

Ketiga, keterlibatan VOC dalam pembelian produk lokal (seperti kain tradisional) sangat kecil. Demikian juga produk-produk laut juga diabaikan oleh VOC sehingga ketika produk ini mendapatkan pasaran yang hebat di Cina sejalan dengan semakin meningkatnya permintaan Eropa, VOC tak mampu bersaing dengan pedagang Cina dan pribumi.

Dari perspektif tersebut tampaknya Belanda sedang “berenang melawan arus.” Meskipun telah menegakkan politik monopolinya di Makassar, masih sedikit keuntungan ekonomi yang bisa diraih VOC. 

Sesungguhnya posisi komersial mereka di Makassar cukup marginal. Dalam hal ini sesungguhnya orang-orang Tionghoa yang banyak mengambil keuntungan dari penaklukan Makassar dan perginya orang-orang Bugis-Makassar dari Sulawesi Selatan.

Sejak perempat pertama abad ke-17 perdagangan dengan Cina (Amoy) meningkat tajam. Mereka mengimpor produk laut dan hutan seperti teripang, rotan, agar-agar, lilin dan mengekspor porselin, tembikar, barang-barang logam, dan sutra. 

Keadaan dunia niaga di Makassar mengalami kebangkitan kembali ketika teh produksi dari Cina mendapat perhatian yang layak di pasaran Eropa. 

Perniagaan teh mendorong VOC bergiat mempererat hubungannya dengan Cina sehingga pada abad ke-18 Makassar dibuka bagi kapal dagang Cina. 

Kontak dagang di kawasan itu dengan Cina juga terjalin kuat akibat permintaan komoditas teh Cina yang terus meningkat dari Eropa ikut mendorong terjadinya dinamika perdagangan lokal.

Berkembangnya pengiriman teh antara Inggris dan Cina menyebabkan permintaan produk laut meningkat—sebagai barter dengan teh. 

Kesempatan itu dimanfaatkan oleh kelompok tertentu di kawasan Laut Sulu dan sekitarnya untuk melakukan perburuan terhadap kelompok sosial lain guna dijual sebagai budak, Mereka dijadikan budak untuk menangkap hewan-hewan laut untuk diekspor ke Cina. 

Bersambung.... Uang, Komoditas, dan Jaringan Perdagangan Maritim Makassar Abad XVI (3) - Arung Makassar (arungsejarah.com)

Sebelumnya.... Uang, Komoditas, dan Jaringan Perdagangan Maritim Makassar Abad XVI (1) - Arung Makassar (arungsejarah.com)