Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pembangunan Kota Pelabuhan Makassar

Karebosi Dalam Peta Kota Makassar - Pembangunan Kota Pelabuhan Makassar
Dr. Edward L. Poelinggomang


 
 
 
 

 

 

 

 

MAKASSAR.ARUNGSEJARAH.COM - Pembangunan Kota Pelabuhan Makassar.

Kebijakan politik dan perdagangan yang dikembangkan oleh penguasa kerajaan Makassar itu pada akhirnya menempatkan kota pelabuhan Makassar menjadi satu-satunya bandar perdagangan terpenting pada pesisir barat jazirah selatan Pulau Sulawesi. Oleh karena itu, semua kegiatan perdagangan yang ingin memasuki dunia penghasil rempah-rempah (Maluku) pasti menyinggahi pelabuhan Makassar.

Hal ini mendorong pengusa kerajaan itu bergiat membenahi kehidupan politik dan membangun pertahanan untuk melindungi kegiatan perdagangan maritim. Dibangunlah sejumlah benteng, diantaranya benteng Sombaopu untuk pusat pemerintahan Kerajaan Makassar, sekali gus menjadi pusat hunian raja dan kerabat Kerajaan Gowa dan Benteng Tallo untuk pusat pemerintahan dan pusat hunian raja dan kerabat Kerajaan Tallo. 

Benteng-benteng lainnya yang dibangun antara lain benteng: Kale Gowa, Ujung Tana, Mariso, Garasi, Panakukang, dan Barombong.

Kerajaan Makassar adalah satu kesatuan dari Kerajaan Gowa dan Tallo, namun dalam keberadaannya tetap memiliki urusan kenegaraannya masing-masing. Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan pemerintahan, urusan yang berkaitan dengan Kerajaan Makassar tidak dilakukan pada pusat kerajaan masing-masing, tetapi dipilih salah satu benteng yang telah dibangun yang terletak antara Tallo dan Sombaopu yaitu Benteng Jungpandang. 

Benteng ini dijadikan sebagai pusat kegiatan politik yang berhubungan dengan Kerajaan Makassar. Para raja-raja daerah taklukan yang datang dengan pengawalan pasukan pemberaninya setiap tahun untuk menyatakan kesetiaanya dan ketaatannya, atau datang memohon bantuan diterima dan dibicarakan di Benteng Jungpandang.

Pada bagian timur benteng ini terletak sebidang areal persawahan yang dikenal dengan nama Karebosi. Areal sawah itu disiapkan untuk memenuhi kepentingan pilitik dalam hubungan dengan kerajaan-kerajaan taklukan. 

Raja daerah taklukan dan para pengikutnya yang datang menunjukan kesetiaannya dan ketaatannya diwajibkan melaksanakan kewajibannya untuk menanami areal persawaan itu. Kewajiban yang dikenal dengan istilah kasuwiyang (pengabdian yang mengandung unsur ritual) Sang raja daerah taklukan berdiri dekat vandelnya (bendera kerajaannya) yang berkibar agar dapat diamati oleh penguasa kerajaan Makassar dan rakyatnya, sementara para pengawalnya turun ke sawah dan menamam padi. 

Jika pada saat kegiatan itu berlangsung turun hujan lebat, baik raja taklukan maupun para pengawalnya tetap terus memenuhi kewajiban mereka, sebagai bukti bakti kesetiaan dan ketaatannya. Penggunaan areal sawah itu untuk pembuktian ketaatan dan kesetiaan para raja-raja daerah taklukan dan tetap berdiri dan melaksanakan kewajiban walaupun mereka diguyur hujan lebat itu, menjadi dasar penamaan areal persawahan itu Karebosi (Matthes, 1943: 413). 

Matthes menyatakan bahwa Karebosi itu secara harafiah berarti regen-vosrsten atau dengan kata lain aan den regen bloodgestelde kare’s of karaeng’s (para kare atau karaeng tetap berdiri tegak dan terbuka pada guyuran hujan).

Kemajuan perdagangan Makassar itu mendorong para pengusaha Belanda yang tergabung dalam perkumpulan Dagang Hindia Timur (Verenigde Oost-Indie Compagnie, disingkat VOC) yang didirikan pada tahun 1602 berusaha pula menjalin hubungan perdagangan dan persahabatan dengan Kerajaan Makassar. 

Oleh karena itu, pada tahun 1605 datang utusan VOC untuk memohon kepada penguasa kerajaan agar dapat memperoleh tempat untuk membangun loji. Mereka memohon kiranya dapat diberikan tanah yang seluas lingkaran mata uang (ronde van de duit). Permohonan itu dikabulkan sehingga raja memohon kepada dewan hadat (Bate Salapang) untuk bersama-sama pengusaha Belanda itu mencari tanah untuk lojinya sesuai dengan permintaan. 

Akhirnya pengusaha Belanda itu memilih tanah yang terletak pada bagian timur Karebosi. Pilihan tempat itu tampak tidak berkenan dengan pendapat para dewan hadat, namun karena raja memerintahkan untuk bersama-sama mencari, maka mereka tidak dapat menolaknya. 

Sikap mereka itu kemudian disampaikan kepada raja, dan penguasa kerajaan itu hanya menyatakan; Saya hanya menyatakan satu kali; biarkan saja hal itu. Tetapi saya akan segera mengusir mereka. (Matthes, 1943: 413). Apa yang dinyatakan raja itu akhirnya dilakukan juga dengan mengusir dan menutup loji VOC yang dibangun pada 1605.

Pertentangan dan sikap permusuhan yang terjadi antara pihak pemerintah Kerajaan Makassar dan VOC itu akhirnya bermuara pada Perang Makassar (1666-1667; 1668-1669). Perang ini berakhir dengan kekalahan Kerajaan Makassar dan sekutu-sekutunya. 

Benteng-benteng pertahanan dan tembok yang memanjang dari Tallo hingga Sombaopu diperintahkan untuk diruntuhkan, kecuali Benteng Sombaopu dan Benteng Jungpandang. Pihak VOC berhasil memaksa untuk menduduki Benteng Jungpandang. Namun ketika kembali berkobar perang (1668-1669), benteng Sombaopu berhasil dibumihanguskan. 

Admiral Cornelis Speelman menetapkan memiliki dan menguasai benteng Jungpandang dan daerah sekitarnya, termasuk tempat pertama dibangun loji Belanda yang dibangun melingkar seperti mata uang. Ia selanjutnya merancang kota baru dari runtuhan kota dagang Makassar pada tahun 1670. Benteng Jungpandang dijadikan markas VOC dan digantikan namanya menjadi Fort Rotterdam. 

Pada bagian utara dijadikan areal dagang dan dinamakan Negorij Vlaardingen dan pada bagian utara pusat kegiatan dagang itu dibangun pemukiman orang Melayu yang disebut Kampung Melayu. Pada bagian timur dari Vlaardingen dijadikan areal perkebunan untuk kegiatan pertanian dari pegawai VOC yang ditempatkan di Fort Rotternam, dan dinamakan Kebun Kompeni (KompagnieTuin).

Dalam perkembangan kemudian, untuk menjamin keamanan dan ketenteraman kegiatan pegawai VOC di kebun kompeni dan melindungi benteng Rotterdam, pihak VOC membangun sebuah benteng di bekas loji VOC yang dinamakan Fort Vredenberg, pada lokasi yang kini berdiri megah kantor Bank Negara Indonesia ‘46 (BNI 46). 

Benteng ini oleh penduduk sering disebut Benteng-tanga, juga sering disebut benteng Rondai (ronde van de duit) karena menyerupai lingkaran mata uang. Sementara areal persawahan yang dinamakan Karebosi tetap tidak dimanfaat dan dijadikan areal lahan kosong dan mejadi lapangan yang oleh VOC dinamakan Lapangan Raja (Koning Plein). 

Hal itu dimaksudkan untuk memudahkan petugas keamanan yang bertugas pada Fort Vredenberg mengawasi gerak-gerik rakyat yang selalu dicurigai akan melakukan penyerangan terhadap kedudukan VOC di Fort Rotterdam. Pada periode VOC hingga awal pemerintahan Hindia Belanda, areal antara Fort Rotterdan dan Fort Vredenberg tetap kosong tanpa ada bangunan.

Dalam perkembangan kemudian, ketika Pelabuhan Makassar dinyatakan menjadi pelabuhan bebas pada tahun 1847, areal  Kebun Kompeni mulai dibangun gedung-gedung kantor perusahan asing. Kemajuan yang yang dialami oleh Makassar itu mendorong pemerintah Hindia Belanda juga mulai memindahkan tempat peribadaan (gereja) dalam Fort Rotterdam dan membangun sebuah gedung gereja (Indische Kerk) yang kini dikenal dengan nama Gereja Immanuel, yang terletak di Jalan Balaikota. 

Pada tahun 1906, kota Makassar diberikan kedudukan sebagai kota madya (gemeente staat). Sehubungan dengan kedudukan itu pemerintah Hindia Belanda bergiat membangun satu gedung kantor untuk pemerintah kota, yang letaknya sejajar dengan gedung gereja, yang sekarang dimanfaatkan sebagai Museum Kota Makassar.

Selanjutnya.... Karebosi dalam Kisah Gerakan Perlawanan - Arung Makassar (arungsejarah.com)

Sebelumnya.... Karebosi Dalam Peta Kota Makassar - Arung Makassar (arungsejarah.com)

----------

 Catatan:

DR. Edward L PoelinggomangStaf pengajar pada Jurusan Ilmu Sejarah pada Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, Makassar.

Topik ini disampaikan pada “Dialog Budaya“ dengan tema: “Karebosi: Masa Lalu, Kini, dan Masa Akan Datang” yang diselenggarakan oleh Panrita Institute of Public Development dsn HIMA Sejarah FEIS UNM  pada 8 Januari 2008 di Aula Rektorat Lama Lt. I, Universitas Negeri Makassar,  Makassar.

Tulisan ini berjudul Karebosi Dalam Peta Kota Makassar yang kemudian dibagi menjadi 3 bagian/halaman.