Karebosi dalam Kisah Gerakan Perlawanan
Dr. Edward L. Poelinggomang |
Karebosi (koning plein) adalah ruang kosong yang diingini oleh pemerintah kolonial agar memudahkan pengawasannya terhadap kemungkinan adanya gerakan penyerbuan rakyat terhadap kedudukan pemerintah di Fort Rotterdam.
Namun dalam perkembangan kemudian tempat ini menjadi arena yang dijadikan untuk memikat rakyat menyatukan kekuatan menentang pemerintah kolonial. Hal itu terjadi setelah pemerintah kolonial menguasai sepenuhnya wilayah Sulawesi Selatan, setelah Ekspedisi Sulawesi Selatan (Zuid-Celebes Expeditie) pada tahun 1905.
Kebijakan militer (Ekspedisi Militer 1905) yang dicanangkan oleh gubernur jendral J.B. van Heutzs (1904-1909) itu dimaksudkan untuk memaksa penguasa kerajaan-kerajaan yang masih merdeka dan berdaulat dan berkedudukan sebagai kerajaan sekutu untuk menyerahkan kekuasaan mereka dengan menandatangani “pernyataan pendek” (korte verklaring) dan menguasai sepenuhnya wilayah pemerintahan mereka. Kebijakan itu berakibat para raja dan kerabat serta bangsawan kehilangan kedudukan kekuasaan mereka.
Penguasaan langsung pemerintah Hindia Belanda atas bekas kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan menyebabkan bermunculan gerakan perlawanan rakyat, baik yang bercorak gerakan perampokan seperti yang dipimpin oleh I Tolo Daeng Mangngasing maupun gerakan yang bercorak mesianistik (mendambakan kehadiran tokoh luar biasa untuk membebaskan rakyat dari penderitaan).
Salah satu gerakan
yang bercorak mesianistik yang menjadikan Karebosi sebagai tempat yang penting
bagi gerakan perlawanan, yaitu Gerakan Karaeng Baba. Gerakan ini disebut
Gerakan Karaeng Baba karena tokoh gerakan itu adalah seorang keturunan Cina
yang mengorganisasikan gerakan perlawanan dengan memperkenalkan diri dengan
nama Karaeng Baba.
Dalam Memorie Serah Terima Jabatan dari gubernur J.L.M. Swaab dan Laporan politik dari Ch.H. Terlag, dinyatakan bahwa pada bulan April 1929 pihak kepolisian pemerintah Hindia Belanda memperoleh berita bahwa di Kampung Bontopaya (Limbung) terlangsung satu pertemuan yang dihadiri Karaeng Baba.
Konon pada pertemuan itu Karaeng Baba menyatakan bahwa pada bulan haji mendatang akan turun dari kayangan tujuh orang raja di Karebosi. Tujuh raja itu akan memimpin gerakan perlawanan untuk mengusir dan melenyapkan Pemerintah Hindia Belanda dari Makassar.
Berita itu mendorong pihak kepolisian bergiat
menangkap tokoh itu tetapi tidak berhasil, karena dapat meloloskan diri dan
bersembunyi (baca: Poelinggomang, 2004: 182-184) Sejak itu tidak terdengar lagi
gerakan Karaeng Baba itu.[1]
Pada tahun 1936 diperoleh lagi berita adanya gerakan yang seirama dengan Gerkan karaeng Baba. Gerakan itu disebut Gerakan Pajenekang yang dipimpin oleh Sattu Gandi. Tokoh ini juga meramalkan bahwa akan datang dari kayangan tujuh orang raja di Karebosi dan memimpin perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Mereka ini akan berhasil mengusir dan membinasakan pemerintah Belanda dan membentuk satu pemerintahan baru yang membebaskan rakyat dari pajak dan kerja wajib.
Ramalan tokoh gerakan itu dipercaya rakyat sehingga pengaruhnya cukup
luas di kalangan rakyat dan berharap akan ada pembebasan penderitaan mereka.
Selain itu tokoh gerakan ini juga menjualkan jimat kepada para pengikutnya.
Jimat itu dinyatakan sebagai bukti keselamatan kelak, apabila tujuh orang raja
itu datang. Mereka yang tidak memiliki jimat itu akan dibunuh karena dipandang
sahabat dan sekutu Belanda.
Berita itu mendorong pemerintah bergiat menangkap tokoh gerakan itu. Dalam usaha untuk menangkap tokoh gerakan itu, pihak kepolisian mengetahui bahwa Karaeng Baba berada dibalik Gerakan Pajenekang bersama Karaeng Nojeng dan Mamie. Untuk meloloskan diri dari kejaran polisi, kelompok gerakan perlawanan itu memindahkan kegiatan mereka ke Maros.
Pemindahan pusat konsentrasi gerakan itu atas jaminan Karaeng Nojeng, yang dinyatakan adalah seorang bangsawan yang berpengaruh di Maros. Di tempat persembunyian itu, mereka melakukan praktek pedukunan sambil menjual jimat dan abat-obatan.
Kepada penduduk yang datang untuk mendapatkan pelayanan pedukunan atau membeli jimat, Karaeng Nojing memperkenalkan kepada mereka bahwa Karaeng Baba adalah keluarganya. Ia juga menjelaskan bahwa Karaeng Baba adalah seorang putera Kaiser Cina.
Oleh karena itu, ia mempersunting seorang puteri datu Luwu. Isteri Karaeng Baba ini, dalam waktu dekat, akan melahirkan seorang putera yang akan langsung dapat berbicara pada saat dilahirkan.
Setelah berusia 40 hari, ia akan mairat ke kayangan dan kemudian akan kembali ke dunia dan memimpin pasukan kerajaan Gowa dan Parepare dalam perang melawan pemerintah kolonial Belanda.
Selama putera Karaeng Baba itu belum kembali ke dunia, ia (Karaeng Nojeng) berkedudukan sebagi penggantinya dalam melaksanakan kekuasaan.
Kegiatan mereka itu berhasil memikat penduduk di Maros, sehingga pihak
kepolisian tidak berani langsung menangkap meskipun telah diketahui tempat
persembunyian mereka, karena kuatir rakyat akan melakukan perlawanan. Karena
rakyat menghormati dan patuh kepada pemimpin gerakan itu.
Sehubungan dengan itu pihak kepolisian tidak ingin segera menyergap pemimpin gerakan, tetapi berusaha mengundang dengan hormat untuk datang ke kantor. Undangan itu tidak dilayani sehingga ditempuh langlah lain dengan mengirim anggotanya untuk berpura-pura ingin berobat dan membeli jimat.
Melalui strategik ini pihak kepolisian berhasil menangkap dan menawan pemimpin gerakan itu tanpa terjadi perlawanan. Dari hasil pemeriksaan diketahui bahwa Karaeng Baba itu adalah Ong Cing Beng, seorang keturunan Cina yang pernah menyatakan diri sebagai putera dari Karaeng Data.
Tokoh ini pernah ditangkap oleh pihak kepolisian berdasarkan berita bahwa pada tanggal 21 November 1928 melakukan pertemuan di rumah Lawang Daeng Mangemba.
Pada pertemuan itu, ia memperkenalkan diri sebagai putera Karaeng Data dan menyampaikan bahwa Karaeng Data akan datang kembali dan bangkit bersama Karaeng Bontonompo untuk mengusir dan membinasakan pemerintah kolonial Belanda dan mengambilalih kekuasaan atas daerah ini.
Atas dasar berita itu ia ditangkap namun kemudian dibebaskan karena
berdasarkan hasil pemeriksaan tidak diperoleh bukti yang menguatkan bahwa ia
mengorganisasikan gerakan perlawanan.
Gerakan perlawanan yang digagas dengan pernyataan akan datangnya tujuh orang karaeng di Karebosi untuk memimpin perlawanan rakyat ini yang pada gilirannya setelah kedudukan kekuasaan Belanda lenyap, seusai Perang Kemerdekaan (1945-1950) dipandang mereka yang pernah terpikat dan ikut dalam gerakan Karaeng Baba sebagai suatu kisah nyata tempat dimana pernah turun dari kayangan tujuh orang karaeng (tumanurunga).
Itulah sebabnya tempat itu dipandang pusara pemakaman tujuh orang raja telah turun dan mengusir Belanda sehingga dikeramatkan. Kapan hal itu terjadi, masih sulit diketahui karena belum diperoleh informasi tertulis.
Kenyataan yang ada adalah Kerajaan Gowa memiliki areal pemakaman sendiri yang berada pada tempat ketinggian, demikian pula dengan tempat pemakaman raja-raja Tallo. Itu berarti secara kultural tempat pemakaman seorang raja di tempat yang tinggi dan bukan dimakamkan pada tempat yang rendah.
Posisi Karbosi berada pada tanah datar yang rendah, dan pada masa kekuasaan Kerajaan Makassar berfungsi sebagai sawah kerajaan. Kemudian pada masa kekuasaan pemerintah kolonial dibiarkan menjadi lapangan terbuka (koning plein). Catatan data masa lampau yang telah dipaparkan berdasarkan catatan tertulis ini kiranya menjadi renungan bagi kita untuk mengenal tempat yang kita namakan Karebosi. (Makassar, 8 Desember 2007).
Sebelumnya.... Karebosi Dalam Peta Kota Makassar - Arung Makassar (arungsejarah.com)
--------------
Catatan:
DR. Edward L Poelinggomang, Staf pengajar pada Jurusan Ilmu Sejarah pada Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, Makassar.
Topik ini disampaikan pada “Dialog Budaya“ dengan tema: “Karebosi: Masa Lalu, Kini, dan Masa Akan Datang” yang diselenggarakan oleh Panrita Institute of Public Development dsn HIMA Sejarah FEIS UNM pada 8 Januari 2008 di Aula Rektorat Lama Lt. I, Universitas Negeri Makassar, Makassar.
Tulisan ini berjudul Karebosi Dalam Peta Kota Makassar yang kemudian dibagi menjadi 3 bagian/halaman.
[1] Baca: Edward L. Poelinggomang, Perubahan Politik dan Hubungan Kekuasaan:
Makassar 1906-1942 (Yogyakarta: Ombak, 2004), hal. 182-184.