Makassar sebagai Bandar Niaga dan Maritim 1510 (1)
Pelabuhan Makassar |
MAKASSAR.ARUNGSEJARAH.COM - Makassar sebagai Bandar Niaga dan Maritim 1510 (1).
PENYATUAN dua kerajaan kembar Gowa-Tallo merupakan langkah pemufakatan penyelesaian konflik atau perang. Sejak penyatuan dua kerajaan itu, sebuah bandar baru dibangun yang dikenal dengan nama Makassar.
Hal itu berakibat Bandar Tallo dan Bandar Sombaopu hanya dipandang sebagai bagian dari bandar baru tersebut. Penyebutan nama Makassar dapat dipandang mewakili eksistensi Gowa-Tallo. Siapa yang memberikan nama itu dan kapan diberikan serta diterima oleh pemilik bandar dan kerajaan itu sulit diketahui.
Kemajuan perkembangan Makassar sebagai bandar niaga berawal ketika pemerintahan Raja Gowa Tomaparissi Kallonna (1510–46) memindahkan ibu kota Kerajaan Gowa dari Tamalate ke Sombaopu. Pemindahan ibu kota itu diikuti dengan penataan birokrasi kerajaan dari bentuk agraris ke maritim yang ditandai dengan pengangkatan kepala Syahbandar di pelabuhan Makassar.
Kepala Syahbandar bertugas khusus mengatur lalu lintas perdagangan dan pelayaran di pelabuhan. Selain itu, Syahbandar juga mengatur segala kebijakan di kawasan pelabuhan antara lain pembentukan galangan pembuatan perahu di Tallo guna memperkuat armada maritim kerajaan, termasuk mendesain kapal perang Galei yang mampu mengimbangi kapal-kapal asing yang mengancam teritorial kerajaan.
Kemajuan Makassar ditandai pula dengan semakin terbukanya Makassar terhadap unsur-unsur kebaruan. Sebagai masyarakat yang bersifat pluralistik (karena terdiri dari banyak kelompok suku bangsa, ras dan agama), sistem politik di Makassar cukup terbuka dalam mengakomodasikan berbagai kepentingan untuk kemajuan perdagangan.
Keterbukaan itu juga bisa dilihat dari kesediaan penguasa setempat menerima apa yang dalam masyarakat saat ini disebut sebagai ‘modernisasi’. Mereka berusaha mendapatkan kemajuan dari teknologi dan hal-hal baru yang dipandang bermanfaat dari orang-orang asing yang datang di Makassar.
Dua tokoh terkenal yang memiliki sikap progresif seperti ini adalah Karaeng Matoaya dan Pattingaioang. Mereka tidak malu-malu mengambil apa saja yang dipandang berguna untuk kemajuan mereka dari pengetahuan para pengunjung Makassar termasuk teknik pembuatan kapal Eropa dan Cina, dan penggunaan pola navigasi laut yang waktu itu sudah lazim digunakan pelaut Eropa, mencetak uang logam, dan sebagainya.
Masa pemerintahan Matoaya (1593–1610) juga merupakan periode ketika Makassar mengadopsi Islam. Dari satu sisi, Islamisasi di Makassar merupakan bagian dari politik pembangunan perdagangan yang sangat jenius sebab sebagian besar perdagangan di Nusantara waktu itu berada di tangan orang-orang Islam.
Sudah barang tentu pengadopsian unsur budaya asing bukan hanya untuk kepentingan mode dan imitasi tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan lokal. Bugis dan Makassar menciptakan sendiri alfabet untuk membuat bahasa mereka sebagai simbol yang mudah dipahami oleh semua kelompok pedagang baik untuk kepentingan hukum maupun bisnis. Mereka memiliki alfabet yang relatif sama meskipun bahasanya sangat berbeda.
Seiring dengan keinginan Kerajaan Makassar mengembangkan pelabuhan, maka segala kegiatan pelayaran dan perdagangan maritim ditempatkan dan dipusatkan dari pelabuhan milik kerajaan-kerajaan taklukan ke bandar Makassar sebagai satu-satunya pusat niaga.
Selain itu, kerajaan Makassar juga melaksanakan “kebijakan pintu terbuka” dengan menganut prinsip “laut bebas” (mare liberium). Kebijakan itu memperbolehkan para pelaut dan pedagang dalam dunia perdagangan maritim di kawasan kepulauan itu berdatangan dan meminta izin menetap dan berniaga.
Pedagang yang jauh sebelumnya telah menetap dan berniaga di sekitar Sombaopu adalah pedagang Portugis pada 1532. Kebijakan penaklukan dan pemusatan kegiatan di bandar Gowa-Tallo itu berdampak terhadap pedagang Melayu yang sebelumnya bermukim di Bandar Siang (Pangkajene-Bungoro) yang juga memohon izin menetap dan berniaga di Makassar yang kemudian diterima dengan tangan terbuka.
Kemudahan yang disediakan oleh penguasa membuat pedagang-pedagang lain, seperti Belanda (VOC) pada 1603, Inggris (1613), Spanyol (1615), Denmark (1618), dan Cina (1618) memohon izin menetap di Makassar. Kumpulan pedagang asing itu berhasil meningkatkan status Makassar menjadi bandar transito internasional utama dan terpenting ketika itu.
Bersambung.... Makassar sebagai Bandar Niaga dan Maritim 1510 (2) - Arung Makassar (arungsejarah.com)