Aksara Lontara: Aksara Tradisional di Sulawesi Selatan yang Hampir Punah
Terjemahan Al-Quran dalam Bahasa Makassar |
MAKASSAR.ARUNGSEJARAH.COM - Aksara Lontara: Aksara Tradisional di Sulawesi Selatan yang Hampir Punah.
Lontara', lontarak, lontara, lontaraq merupakan manuskrip-manuskrip atau catatan-catatan tertulis yang aslinya di tulis di atas daun lontara (rontal). Menurut Prof. Mattulada dalam bukunya Latoa, Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, penulisan aksara lontara ini sebelum memakai kertas, dilakukan dengan mempergunakan alat tajam, kemudian dibubuhi warna hitam pada bekas guratan-guratan benda tajam itu.
Tanda-tanda bunyi atau aksara yang dipergunakan disebut juga aksara lontarak. Lontarak asli yang demikian, kini sudah sulit ditemukan.
Setelah digunakannya kertas untuk menggantikan daun-daun lontar tersebut, penggunaan sebagai alat untuk ditulisi pun berubah yakni dengan mempergunakan pena atau lidi ijuk yang di sebut kallang, maka itupun disebut ”lontarak".
Adapun "tanda-tanda bunyi" atau huruf/aksara lontarak yang saat ini dikenal memiliki 23 huruf yakni:
Manuskrip-manuskrip atau catatan-catatan tertulis tersebut, dalam aneka ragam isinya, antara lain dapat dicatat sebagai berikut:
Paseng atau Pasang, ialah kumpulan amanat keluarga atau orang-orang bijaksana yang tadinya diamanatkan turun-temurun, dengan ucapan-ucapan yang di hafal.
Kemudian paseng atau pasang tersebut dituliskan atau dicatatkan dalam lontarak dan dijadikan semacam pusaka turun-temurun. Paséng atau pasang yang demikian tersebut dipelihara dan menjadi kaidah hidup dalam masyarakat yang sangat dihormati.
Menurut Prof. Mattulada, pelanggaran paseng atau pasang oleh seseorang, kalau itu paseng atau pasang kaum atau keluarga, maka pelanggarnya akan dikucilkan dari pergaulan kaum atau keluarga, dan sulitlah baginya untuk memperoleh kepercayaan kembali dari kaum atau keluarganya. Orang yang meninggalkan atau tidak memperdulikan paseng atau pasang dimasukkan dalam golongan tak boleh dijadikan keluarga.
Paséng atau pasang, dapat juga berupa perjanjian antara dua atau beberapa pihak, yang ditaati oleh semua yang mengikatkan diri.
Dapat juga berupa amanat sepihak, kepada keluarga turun-temurun, seperti (a), perjanjian tomanurung atau tumanurung dengan Rakyat, ketika tomanurung atau tumanurung dijadikan Raja. Raja-raja yang menyusul kemudian sebagai penggantinya mengucapkan paséng atau pasang itupun pada masa pelantikan masing-masing, (b) Tak dibolehkan mengawini keturunan bekas tuan, seperti tersebut dalam Latoa antara lain pada alinea 250, dan (c) mengikat persaudaraan yang kekal turun temurun, antara kaum dengan kaum.
Terkait dengan pengumpulan naskah lontarak, baik bahasa Bugis, maupun bahasa Makassar, nama Dr. B.F. Matthes, seorang ahli bahasa berkebangsaan Belanda, merupakan tokoh yang sangat penting yang tak bisa dilupakan. Ia pernah dipelajari dengan teliti dan mendalam, sebahagian sumber kesusastraan tertulis yang sudah dimiliki oleh orang Bugis dan Makassar sejak berabad-abad lamanya.
Matthes merupakan satu-satunya tokoh yang mengumpulkan banyak naskah-naskah kuno dalam berbagai bahasa, khuususnya bahasa Bugis dan Makassar. Matther pernah mengumpulkan banyak sekali naskah-naskah kesusastraan yang tercantum dalam berbagai lontarak.
Naskah-naskah lontara' itu sekarang, ada pernah disimpan dalam perpustakaan Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara di Ujung-Pandang (Makassar), dan saat ini masih banyak juga tersimpan dalam perpustakaan-perpustakaan Universitas Leiden di Negeri Belanda dan dalam berbagai perpustakaan lainnya di Eropa.
Matthes sendiri bahkan pernah menerbitkan beberapa bunga-rampai (Chrestomatie) yang memuat seleksi dari kesusastraan Bugis-Makassar itu. Sebagai hasil dari penelitian bahasanya, ia pernah menerbitkan sebuah kamus Bugis-Belanda dan sebuah kamus Makassar-Belanda yang tebal-tebal, bahkan terjemahan al-Qur'an dan Injil dalam beberapa bahasa, termasuk Bugis dan Makassar.
Terkait naskah-naskah lontara' kuno yang ditulis di daun lontar, saat ini sangat sulit lagi ditemukan. Sebab naskah-naskah kuno dari orang Bugis dan Makassar, telah banyak di tulis di atas kertas dengan mempergunakan pena atau lidi ijuk (kallang) dalam aksara lontarak atau dalam aksara Serang.
Salah satu jenis lontarak yang memuat tentang peristiwa harian di Kerajaan Gowa-Tallok adalah Lontarak Bilang. Meski telah diterbitkan dalam bentuk buku, namun isi lontarak ini masih jarang diketahui, termasuk masyarakat di Gowa-Tallok sendiri.
Selanjutnya.... Lontarak Bilang Raja Gowa dan Tallok: Pengertian dan Sejarah Penulisannya