Sejarah Kota Makassar: Terbentuknya Bandar Makassar Abad XVI
MAKASSAR.ARUNGSEJARAH.COM - Sejarah Kota Makassar: Terbentuknya Bandar Makassar Abad XVI.
Sejarah Kota Makassar: Terbentuknya Bandar Makassar Abad XVI
Informasi kesejarahan yang ditelusuri hanya memberikan gambaran bahwa bandar itu terbentuk dari dua bandar niaga dari kerajaan kembar Gowa-Tallo, yaitu bandar Tallo dari Kerajaan Tallo yang terletak di pesisir selatan muara Sungai Bira dan bandar Sombaopu dari Kerajaan Gowa yang terletak di pesisir utara muara Sungai Jeneberang.
Dua kerajaan tetangga itu berhasil membentuk persekutuan pada tahun 1528, setelah melalui permufakatan penyelesaian konflik (perang). Permufakatan mereka itu dikenal dalam bentuk pernyataan bahwa “ barang siapa yang mengadu-dombakan Kerajaan Gowa dengan Kerajaan Tallo akan dikutuk oleh Dewata” (ia-iannamo tau ampasiewai Gowa-Tallo iamo nacalla Dewata) (Wolhoff dan Abdurrahman, t.thn: 21; Stapel, 1922: 2; Andaya, 1981: 24).
Kesepakatan itu berpengaruh bagi rakyatnya dan semua yang mengenal dua kerajaan kembar itu sehingga muncul ungkapan “satu rakyat, dua raja” (sereji ata narua karaeng). Persekutuan yang dibangun itu bersifat menyatukan dua kerajaan itu dalam kehidupan kenegaraan tetap mengakui kedudukan kekuasaan masing-masing sebagai raja kerajaan, di samping membentuk satu kesatuan dengan menempatkan raja Gowa sebagai pemegang kendali kekuasaan kerajaan kembar itu (Sombaya) dan raja Tallo sebagai pejabat mangkubumi (Tumabicara Buta).
Perang yang berakhir dengan pembentukan persekutuan dua kerajaan itu berbasis pada keinginan Kerajaan Gowa untuk mengubah orientasi kehidupan kerajaannya dari agraria ke dunia maritim pada periode pemerintahan raja Gowa IX, Tumaparissi Kalonna Daeng Matanre Karaeng Manguntungi (1510-1546).
Kebijakan itu dilaksanakan mengingat semakin banyak arus migran pedagang Melayu ke kawasan ini setelah Malaka diduduki oleh Portugis pada 1511. Sehubungan dengan itu, setelah melakukan persekutuan dua kerajaan itu, yang secara kesejarahan diperintah oleh raja dari keturunan yang sama,[1] melaksanakan perluasan kekuasaan dengan menaklukan kerajaan-kerjaan pesisir dan memaksa mereka untuk melakukan perdagangan dengan bandar niaga Tallo dan Sombaopu.
Kebijakan ini dipandang oleh raja Gowa X, I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung, Tunipalangga Ulaweng (1546-1565) kurang memberikan peluang bagi kemajuan bandar niaga kerajaan kembar itu. Oleh karena itu dicanangkan kembali tindakan penaklukan terhadap kerajaan-kerajaan pesisir dan kerajaan-kerajaan yang memiliki potensi ekonomi, dengan kebijakan baru yaitu memaksa kerajaan-kerajaan taklukan untuk tunduk dan patuh kepadanya dan mengangkut orang dan barang dari negeri taklukan, khususnya yang bergiat dalam dunia perdagangan maritim ke bandar negerinya.
Kebijakan itu saya sebut sebagai kebijakan makkanama nu mammio (aku bertitah dan kamu menaatinya). Kebijakan ini berakibat bandar-bandar niaga yang berada di pesisir jazirah selatan menjadi sirna, dan hanya ada dua bandar yaitu Tallo dan Sombaopu, namun secara fisik sudah sulit dipisahkan karena wilayah antara dua bandar itu telah menyatu dan tampak menjadi satu bandar yang terbentang dari muara Sungai Bira (Sungai Tallo) hingga muara Sungai Jeneberang yang dipenuh oleh para pedagang dari berbagai bandar niaga yang berpredikat Makassar sebelumnya.
Kenyataan itu yang mendasari para pedagang itu menyebut bandar niaga Tallo dan Sombaopu itu dengan sebutan Bandar Makassar, dan tidak menyebut Tallo Makassar dan Sombaopu Makassar karena keduanya telah menyatu. Sebutan yang sama pula untuk menyebut dua kerajaan kembar yang telah membentuk persatuan itu dengan Kerajaan Makassar, nama yang sama dengan penyebutan bandar niaga mereka. Dalam struktur kerajaan kembar inilah dikenal raja Gowa menjadi raja atau kepala kerajaan dan raja Tallo menjadi mangkubumi atau kepala pemerintahan kerajaan.
Kenyataan kesejarahan itu memberikan petunjuk pada kita bandar Sombaopu dan bandar Tallo menyatu menjadi satu bandar pada periode pemerintah raja Tunipalangga Ulaweng dan mangkubumi Mangaijoang Berang Tunipasuru (raja Tallo). Bila dipertimbangkan setelah dua atau tiga tahun memerintah kemudian melakukan ekspedisi penaklukan selama kurang lebih 5 tahun, maka dapat diperkirakan bahwa setelah 8 tahun memerintah wilayah antara bandar Tallo dan Sombaopu telah dipenuhi oleh penduduk kerajaan taklukan yang bergiat dalam dunia perdagangan maritim, dan dua bandar itu telah menyatu, dan berkedudukan sebagai satu-satunya bandar niaga di pesisir barat jazirah selatan. Berdasarkan pada perkiraan itu dapat dinyatakan bahwa Bandar Makassar telah terwujud sekitar tahun 1557.
Seiring dengan kebijakan menempatkan dan memusatkan kegiatan pelaut dan pedagang dari kerajaan-kerajaan taklukan pada bandar niaga Tallo dan Sombaopu sebagai satu-satunya pusat niaga, maka kerajaan kembar ini melaksanakan “kebijakan pintu terbuka” (open door policy) dengan menganut prinsip ‘laut bebas” (mare liberium).
Kebijakan itu melapangkan para pelaut dan pedagang yang bergiat dalam dunia perdagangan maritim di kawasan kepulauan ini berdatangan dan memohon izin menetap dan berniaga. Pedagang yang jauh sebelumnya telah menetap dan berniaga di sekitar Sombaopu adalah pedagang Portugis pada tahun 1532 (Erkelens, 1897: 82).
Kebijakan penaklukan dan pemusatan kegiatan di bandar Gowa-Tallo itu berdampak pedagang Melayu, yang sebelumnya bermukim di Bandar Siang (Pangkajene – Bungoro) memohon izin untuk menetap dan berniaga di Makassar. Dalam perkembangan kemudian datang pula pedagang-pedagang lain, seperti Belanda (VOC) pada 1603, Inggeris (1613), Spanyol (1615), Denmark (1618) dan Cina (1618). Berkumpulnya para pedagang di bandar ini behasil mneningkatkan statusnya menjadi bandar transito internasional terpenting atau dengan kata lain menjadi kota niaga dunia.
Anthony Reid yang meneliti dan mengkaji perkembangan perdagangan Makassar sebelum Perang Makassar (1666-1667; 1668-1669) berkesimpulan bahwa sejarah pertumbuhan perdagangan Makassar menampilkan kisah kemajuan dan keberhasilan yang tiada bandingnya dalam sejarah Indonesia (Reid, 1983: 117).
Bandar Makassar tumbuh dan maju dengan pesat dalam dunia perdagangan, menjadi pusat tujuan niaga bagi semua pedagang yang bergiat dalam dunia perdagangan maritim. Pedagang Eropa dan Timur asing lainnya yang datang berniaga dan menetap di bandar ini merasakan keamanan mereka terlindung dan penuh kedamaian. Itulah sebabnya mereka memaparkan dalam laporan bahwa raja bersikap sangat toleransi dan simpati serta suka memaafkan (Stapel, 1922: 9).
Tambahan pula para pelaut dan pedagang dari Sulawesi Selatan dikenal sebagai pedagang yang senantiasa menepati janji, suka membantu dan membela orang-orang yang diperlakukan semena-mena (itulah sebabnya mereka dujuluki “Ajam jagi kesayangan dari dunia Timur = De hantjes van het Oosten), dan senantiasa berkeinginan memusatkan kegiatan niaga mereka ke Makassar. Itulah sebabnya mereka yang saling konflik di luar senantiasa menampilkan perilaku yang santun dan berdamai serta berdagang bersama di Makassar.
Bersambung.... Sejarah Kota Makassar: Tantangan Bagi Makassar - Arung Makassar (arungsejarah.com)
Sebelumnya.... Sejarah Kota Makassar: Jejak Makassar dalam Catatan Portugis - Arung Makassar (arungsejarah.com)
[1] Menurut catatan sejarah raja Kerajaan Tallo yang pertama, Kareng Lowe ri Sero adalah saudara kandung dari raja Gowa VII, Batara Gowa., putera dari raja Gowa VI, Tunatangkalopi (1445-1460). Kisah tentang dua kerajaan tetangga ini terdapat dua versi. Versi pertama mengkisahkan bahwa kedua putera raja ini selalu berselisi. Karena itu sebelum meninggal ia membagi wilayah kerajaannya kepada dua puteranya. Batara Gowa menjadi raja darui wilayah yang dikenal dengan Kerajaan Gowa, sementara adiknya menjadi raja atas wilayah yang kemudian disebut Kerajaan Tallo. Versi lain mengkisahkan bahwa sebelum raja mangkat ia telah berpesan agar Karaeng lowe ri Sero yang kelak menggantikannya. Ketika raja meninggal putera tertuanya, Batara Gowa bertindak merebut ornamen kerajaan (Sudanga) sehingga dewan kerajaan mengakauinya sebagai raja. Akibatnya adiknya meninggalkan kerajaan itu dan pergi menetap di Pacinnang. Katika kehadirannya itu dikethui oleh para gelang di wilayah Bira, empat galarang bersepakat untuk menobatkannya menjadi raja. Tawaran itu diterima, sehingga mereka bergiat membangun istana kerajaan di wilayah pesisir pada muara Sungai Bira yang dikenal dengan nama hutan Tolloang. Dari nama hutan itulah kemudian kerjaan yang didirikan itu dunamakan Kerajaan Tallo,