Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tantangan bagi Makassar Sebagai Bandar Internasional Abad 17

Tantangan bagi Makassar Sebagai Bandar Internasional Abad 17, Sejarah Terbentuknya Bandar Makassar, Makassar, Kota Niaga Dan Maritim, Kisah Turunnya Tujuh Raja dari Kayangan di Karebosi: Jejak Gerakan Perlawanan Rakyat Terhadap Kolonial, Kisah Turunnya Tujuh Karaeng di Karebosi - Jejak Gerakan Perlawanan Rakyat Terhadap Kolonial, Fort Rotterdam Pusat Kekuasaan Pemerintah Kolonial, Benteng Jungpandang Pusat Kerajaan Makassar, Fort Rotterdam dalam Tinjauan Sejarah Perjuangan Rakyat, Aminah, 1976. Benteng Rotterdam, Ujung Pandang: Kantor Cabang II Lembaga Sejarah dan Antropologi Ujung Pandang.  Andaya, Leonard Y. 1981. The Haritage of Arung Palakka. A History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century, The Hague: Martinus Nijhoff. (VKI No. 91)  Cortesao, Amando. 1944. The Suma Oriental of Tome Pires and the Book of Francisco Rodriques, London: Robert Mackehose & Co Ltd.  Erkelens, B. 1897. “Geschiedenis van het Rijk Gowa”, dalam VBG, Vol ke-50  Leur, J.C. van. 1983. Indonesian Trade and Society. Essays in Asian Sociel and Economic History, Dordreecht: Foris Publication.  Matthes, B.F., 1943.  “Boegineeshe en Makassarsche Legenden”, dalam: H. van den Brink,  Dr Benjamin  Frederik  Matthes.  Zijn  leven  en  arbeid  in  dienst  van het Nederlandsch Bijbelgenootschap, Amsterdam: Nederlandsch Bijbelgenootschap.  Noorduyn, J. 1983. “De Handelrelatie van het Makassarsche Rijks volgen de Notitie van Cornelis Speelman uit 1670”, dalam: Nederlandsche Historische Bronnen, No. 3, hal. 99-123.  Poelinggomang, 2002. Makassar Abad XIX. Studi tentang Kebijakan Perdagangan Maritim, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.  Poelinggomang, Edward L. 2004. Perubahan Politik dan Hubungan Kekuasaan, Makassar 1906-1942, Yogyakarta: Ombak.  Reid, Anthony, 1983. “The Rise of Makassar”, dalam: RIMA, Vol. XVII, hal. 117-160.  Stapel, F.W. 1922. Het Bongaais Verdrag, Leiden: Disertasi Rijks Universiteit Leiden  Sutherland, H.A. 1989. “Eastern Emporium and Company Town: Trade and Society in the Eighteenth Century Makassar”, dalam: Frank Broeze, ed. Brides of the Sea. Port Cities of Asia from 16th-20th Centuries, Keinsington: New South Wales University Press, hal. 97-128.  Wolhoff, G.J. dan Abdurrahim. T.thn., Sedjarah Goa. Makassar: Jajasan Kebudajaan Sulawesi Selatan dan Tenggara.
Dr. Edward L. Poelinggomang

MAKASSAR.ARUNGSEJARAH.COM - Tantangan bagi Makassar Sebagai Bandar Internasional Abad 17.

Kemajuan yang diukir dalam sejarah Kota Makassar ini mulai mengalami kesuraman setelah Perang Makassar (1666-1669). Kompeni (Verenigde Oost-Indie Compagnie, disingkat VOC) yang tampil menjadi pemenang dalam perang itu bergiat mengubah kedudukan Makassar, karena dipandang sebagai nama yang tidak melapangkan kebijakan monopoli perdagangan rempah-rempahnya. 

Itulah sebabnya setelah usai perang, Spelman tampil dengan rancangan baru mengubah kedudukan bandar niaga yang telah didudukinya itu. 

Benteng-benteng pertahanan diruntuhkan dan hanya satu benteng yang tetap dipertahankan dan dijadikan tempat kegiatan administrasi dan niaga kompeni yaitu Benteng Jungpandang, yang diganti namanya menjadi Fort Rotterdam. 

Selain itu di bagian utara benteng itu dibentuk satu perkampuang pedagang (negorij) yang dinamakan Negorij Vlaardingen. Di tempat inilah para pedagang Belanda menetap dan menjual barang dagangan mereka. 

Di bagian utara negeri ini ditempatkan  pedagang Melayu, sehingga tempat itu disebut Kampong Melayu. Pada bagian timur dibangun istana untuk Arung Palakka, raja Bone, yang dinamakan Bontoala, dan lahan kebun untuk  para pedagang Belanda yang disebut Kebun Kompeni (Compagnie Tuin).

Kompeni juga memiliki areal di bagian timur yang disebut Koninksplein (Karebosi) Untuk menjamin keamanan kegiatan berkebun dibangun kemudian sebuah benteng di daerah Patunuang, sebelah timur Koninksplein, yang dikenal dengan nama Fort Vredenberg.

Pengaturan ini tampak menunjukan bahwa Kompeni, khususnya kebijakan Spelman, bertujuan untuk mensirnakan penyebutan Makassar untuk kota baru yang dibangun itu. Untuk maksud itulah Makassar yang menjadi pelabuhan transito internasional terbesar itu tidak dijadikan kota pelabuhan dagang melainkan diubah statusnya menjadi pos pengaman kebijakan monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku. 

Itulah sebabnya bandar ini hanya berfungsi sebagai pelabuhan singgah kapal Kompeni dari Batavia yang berlayar ke dan datang dari Maluku. Nama Makassar tidak tampak dalam rancangan kota baru yang dibangun di atas reruntuhan Kota Makassar. 

Penyebutan area tempat kegiatan perdagangan dengan nama Vlardingen itu mengindikasikan bahwa Spelman telah menggantikan nama kota itu. Namun hubungan antara para penguasa daerah kerajaan dengan Kompeni berpusat pada Fort Rotterdam, yang di kalangan mereka lebih dikenal dengan nama Jungpandang, maka tampak bahwa kota baru ciptaan Spelman itu dikenal kota Jungpandang.

Dalam perkembangan kemudian ketika produksi teh Cina mendapat permintaan pasar di Eropa, pihak Kompeni bergiat menjalin kembali hubungan perdagangan dengan Cina. Usaha itu mendorong Kompeni membuka beberapa pelabuhan dagang di wilayahnya bagi perdagang maritim Cina pada tahun 1731. 

Dalam kebijaksan itu tampak bahwa kota baru ciptaan Spelman itu kembali disebut dengan Pelabuhan Makassar. Hal itu mungkin berkaitan dengan pengetahuan pedagang Cina akan nama bandar itu dengan nama Makassar dan bukan Vlaardingen. 

Sejak itu tampak bahwa bandar Makassar mulai kembali diberi peluang bertumbuh kembali, meskipun dalam kebijakan hubungan niaga dengan Cina itu, hanya diizinkan dua jung setiap tahun untuk mengunjungi Makassar.

Perdagangan teh dan hubungan perdagangan dengan Cina itu akhirnya mendorong pemerintah Hindia Belanda, yang menggantikan kedudukan Kompeni di Indonesia, bergiat bersaing dengan pedagang Eropa lainnya, khususnya Inggeris, berusaha kembali memajukan perdagangan Makassar dengan menjadikan kota niaga itu berstatus pelabuhan bebas pada 1 Januari 1847. 

Kebijakan itu berhasil meningkatkan volume perdagangan Makassar dan menyaingi bandar niaga Inggeris di Singapura. (baca: Poelinggomang, 2002). Namun dalam perkembangan kemudian (1872), pemerintah Hindia Belanda memandang kemajuan Makassar itu tidak menguntungkan pemerintah kecuali bandar niaga asing lainnya. 

Kenyataan menunjukkan semakin kurang berkembang bandar niaga Batavia, Semarang, dan Surabaya. Oleh karena itu pemerintah menghendaki perubahan status bandar Makassar dari pelabuhan bebas menjadi pelabuhan wajib pajak, namun mendapat reaksi protes berbagai pihak karena dipandang akan lebih menguntungkan bandar niaga asing lainnya.

Perkembangan dan kemajuan Makassar itu didukung oleh sejumlah faktor, antara lain: 

(1) letak Makassar berada di pusat dari kawasan perdagangan di kepulauan ini; 

(2)  posisinya berada pada jalur jaringan perdagangan dari negara-negra yang berada dibagian utara benua Asia dengan Australia yang berada di selatan, juga pada jalur pelayan dari Samudera Atlantik menuju ke Samudera Hindia; 

(3) pelabuhannya termasuk pelabuhan alam yang nyaman karena terlindung oleh pulau-pulau kecil yang bertebaran di depannya sehingga gelora laut pada muson barat laut tidak mengancam kapal dan perahu dagang yang berlabuh; 

(4) sebagian penduduk Sulawesi Selatan bergiat dalam dunia perdagangan maritim dan dikenal sebagai pelaut dan pedagang yang ulung dan cekatan. Banyak karangan yang mengungkapkan bahwa pelaut dan pedagang dari Sulawesi Selatan yang memegang peranan penting dalam dunia perdagangan maritim pada abad ke-19.

Salah satu alasan dari kelompok yang memprotes rencana pemerintah itu yang dipandang sangat penting adalah bahwa jika status Makassar diubah maka pelaut dan pedagang dari Sulawesi Selatan akan kembali memusatkan kegiatan perdagangan maritim mereka ke bandar niaga asing. Itu berarti akan melemahkan kedudukan perdagangan maritim di Hindia Belanda dan kemungkinan dapat melapangkan bangsa Eropa lain masuk dan memiliki koloni di Indonesia, karena banyak kerajaan masih berkedudukan secara de facto kerajaan yang merdeka dan berdaulat. 

Oleh karena itu rencana itu ditunda hingga pemerintah dapat mengusai secara de facto wilayah kerajaan itu. Itulah sebabnya setelah pemerintah melaksanakan ekspedisi militer Sulawesi Selatan pada 1905, baru pemerintah mengumumkan pembatalan kedudukan pelabuhan Makassar sebagai pelabuhan bebas dan menjadikan pelabuhan wajib pajak pada 1906.

Kedudukan Makassar sebagai pusat perdagangan dialihkan ke pusat perdagangan di Jawa. Untuk melayani kegiatan perdagangan ke Kalimantan dipusatkan ke Semarang dan untuk kawasan timur diembankan kepada otoritas Pelabuhan Surabaya. 

Sejak itu segala kegiatan ekspor dan impor harus melalui Pelabuhan Surabaya, dan Makassar diberi hadiah hanya sebagai pintu gerbang, tempat berlalunya kegiatan perdagangan ke kawasan timur Indonesia maupun ke negara asing lainnya. Selain itu untuk tidak merisaukan diberikan hadiah status kotamadya (staatsgemeente) pada April 1906, bersama empat kota lainnya yaitu: Batavia, Semarang, Surabaya, dan Medan.

Kebijakan pemerintah Hindia Belanda itu tampak lebih mengutamakan kota pelabuhan di Jawa untuk tumbuh menjadi bandar niaga terpenting, dan bergiat menjadinya kota pelabuhan di luar Jawa sebagai penyanggah kemajuan bandar niaga itu termasuk Makassar, Banjarmasin, Ternate, Banda, Amboina, Menado dan Kema. 

Kota Makassar dalam perkembangan kemudian lebih difungsikan menjadi kota administrasi pemerintahan. Kedudukan kota Makassar ini kembali mengalami perubahan nama pada tahun 1972, hal yang sama seperti yang dilakukan oleh Speelman pada tahun 1669. 

Perbedaannya hanyalah pada luas areal kota. Jika Speelman merancang dengan memperkecil luas arel kota dan menempatkan administrasi kolonialnya pada Benteng Jungpandang (Fort Rotterdam) maka peda periode 1972 perubahan nama Makassar menjadi Ujungpandang itu didalihkan pada peluasan areal wilayah kota setelah memasukkan beberapa bagian wilayah dari Kabupaten Gowa, Kabupaten Maros, dan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan. 

Perubahan nama itu juga didalihkan bahwa penduduk dari luar Makassar atau dari daerah-daerah yang datang ke Makassar selalu menyatakan ke Jungpandang. Tidak disadari bahwa kehendak ke Jungpandang itu berkaitan dengan urusan administrasi pemerintahan kolonial yang berpusat di Benteng Jungpandang, bukan pada kota yang telah dipulihkan namanya kembali menjadi Makassar sejak 1731. 

Masih terdapat lagi sejumlah argumentasi yang ditampilkan oleh pendukung perubahan nama kita itu, seperti misalnya bahwa kota Makassar yang dibangun itu dahulunya merupakan areal hutan pohon pandan, ataupun menyatakan bahwa nama itu diberikan oleh pedagang asing.

Pada sisi lain muncul pula sejumlah pemikiran yang menentang perubahan nama itu karena memandang nama itu lebih dikenal di dunia internasional daripada nama Ujungpandang. Pendapat ini pada dirinya terkandung anggapan bahwa perubahan nama itu secara sengaja untuk memudarkan ketenaran Makassar sebagai tempat yang pernah menjadi bandar transito internasional yang terkenal di kepulauan ini dan bahkan di Asia Tenggara. 

Selain itu juga ada yang memberikan alasan bahwa Ujungpandang itu hanya suatu areal kecil yang menjadi tempat dibangunnya Benteng Jungpandang, sementara penyebutan Makassar itu menunjukkan pada pusat perdagangan yang sejak awal wilayahnya luas mulai dari Sungai Bira di bagian utara hingga Sungai Jeneberang di bagian selatan. Bahkan nama Makassar itu telah mengukir sejarah kegemilangan yang mengagungkan. Oleh karena itu terus bergiat untuk dapat kembali memulihkan nama itu pada kota yang telah diperluas dan diberi nama Ujungpandang.

Sejarah kegemilangan Makassar itu diungkapkan oleh Anthony Reid dari hasil penelitiannya yang dipublikasikan dalam jurnal RIMA pada tahun 1983 dengan judul The Rise of Makassar. Artikel ini  menambah ransangan bagi kelompok yang menghendaki nama Makassar dipulihkan. 

Suatu peluang tampak tertangkap oleh mereka ketika B.J Habibie menjadi presiden RI. Pemerintah Kotamadya Makassar memprakarsai sebuah seminar untuk membicarakan kembali perubahan nama Ujungpandang kembali ke Makassar di Makassar Golden Hotel (MGH). 

Pada seminar itu hadir juga H.M. Daeng Patompo, tokoh perintis dan pengubah nama Makassar menjadi Ujungpandang. Pada kesempatan itu, ia juga mengajukan pernyataan mendukung pengubahan nama Ujungpandang kembali menjadi Kota Makassar, setelah menjelaskan secara singkat mengapa ia melakukan perubahan itu, yang konon atas desakan pemerintah pusat. 

Seminar itu akhirnya berhasil mencapai kesepakatan untuk mengusulkan kepada pemerintah pusat agar memulihkan nama Makassar dengan mengubah keputusan terdahulu yang menggantikan nama Makassar menjadi Ujungpandang. Hasil keputusan seminar itu akhirnya diusung oleh tokoh-tokoh pendukung nama Makassar ke Jakarta.

Usulan untuk mengembalikan dan memulihkan nama Makassar itu mendapat persetujuan dari pemerintah sehingga menjelang akhir tahun 1999, nama Makassar kembali bergema menggantikan nama Ujungpandang. 

Keputusan pemerintah itu memberikan suasana baru bagi kehidupan penduduk kota pada khususnya dan penduduk Sulawesi Selatan pada umumnya. 

Pemerintah kota bergiat merancang pengembangan kota ini untuk dapat menampilkan wajah yang mempesona dengan rancangan untuk menjadikan kota maritim, budaya, dan pendidikan disamping polesan pesona lain untuk menambah maraknya kegiatan kehidupan kota. 

Mudah-mudahan dalam perkembangan ke depan pemerintah  berkenan mengubah kebijakan perdagangan maritim dan menjadikan Makassar menjadi salah satu sentra terpenting, di samping Jakarta, Semarang, dan Surabaya dalam kegiatan perdagangan maritim.

Selanjutnya.... Makassar, Kota Niaga dan Maritim: Tinjauan Akhir - Arung Makassar (arungsejarah.com)

Sebelumnya.... Sejarah Terbentuknya Bandar Makassar - Arung Makassar (arungsejarah.com)