Sejarah Terbentuknya Bandar Makassar
Dr. Edward L. Poelinggomang |
MAKASSAR.ARUNGSEJARAH.COM - Sejarah Terbentuknya Bandar Makassar.
Informasi kesejarahan yang ditelusuri hanya memberikan gambaran bahwa bandar itu terbentuk dari dua bandar niaga dari kerajaan kembar Gowa-Tallo, yaitu bandar Tallo dari Kerajaan Tallo yang terletak di pesisir muara Sungai Bira dan bandar Sombaopu dari Kerajaan Gowa yang terletak di pesisir muara Sungai Jeneberang.
Dua kerajaan tetangga itu berhasil membentuk persekutuan pada tahun 1528, setelah melalui permufakatan penyelesaian konflik (perang). Permufakatan mereka itu dikenal dalam bentuk pernyataan bahwa “ barang siapa yang mengadu-dombakan Kerajaan Gowa dengan Kerajaan Tallo akan dikutuk oleh Dewata” (ia-iannamo tau ampasiewai Gowa-Tallo iamo nacalla Dewata) (Wolhoff dan Abdurrahman, t.thn: 21; Stapel, 1922: 2; Andaya, 1981: 24).
Kesepakatan itu berpengaruh bagi rakyatnya dan semua yang mengenal dua kerajaan kembar itu sehingga muncul ungkapan “satu rakyat, dua raja” (sereji ata narua karaeng). Persekutuan yang dibangun itu bersifat menyatukan dua kerajaan itu dalam kehidupan kenegaraan tetap mengakui kedudukan kekuasaan masing-masing sebagai raja kerajaan, di samping membentuk satu kesatuan dengan menempatkan raja Gowa sebagai pemegang kendali kekuasaan kerajaan kembar itu (Sombaya) dan raja Tallo sebagai pejabat mangkubumi (Tumabicara Buta).
Perang yang berakhir dengan pembentukan persekutuan dua kerajaan itu berbasis pada keinginan Kerajaan Gowa untuk merubah orientasi kehidupan kerajaannya dari agraria ke dunia maritim pada periode pemerintahan raja Gowa IX, Tumaparissi Kalonna Daeng Matanre Karaeng Manguntungi (1510-1546).
Kebijakan itu dilaksanakan mengingat semakin banyak arus migran pedagang Melayu
ke kawasan ini setelah Malaka diduduki oleh Portugis pada 1511. Sehubungan
dengan itu, setelah melakukan persekutuan dua kerajaan itu, yang secara
kesejarahan diperintah oleh raja dari keturunan yang sama,[1]
melaksanakan perluasan kekuasaan dengan menaklukan kerajaan-kerjaan pesisir dan
memaksa mereka untuk melakukan perdagangan dengan bandar niaga Tallo dan
Sombaopu.
Kebijakan ini dipandang oleh raja Gowa X, I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung, Tunipalangga Ulaweng (1546-1565) kurang memberikan peluang bagi kemajuan bandar niaga kerajaan kembar itu. Oleh karena itu dicanangkan kembali tindakan penaklukan terhadap kerajaan-kerajaan pesisir dan kerajaan-kerajaan yang memiliki potensi ekonomi, dengan kebijakan baru yaitu memaksa kerajaan-kerajaan taklukan untuk tunduk dan patuh kepadanya dan mengangkut orang dan barang dari negeri taklukan, khususnya yang bergiat dalam dunia perdagangan maritim ke bandar negerinya.
Kebijakan itu saya sebut sebagai
kebijakan makkanama nu mammio (aku
bertitah dan kamu menaatinya). Kebijakan ini berakibat bandar-bandar niaga yang
berada di pesisir jazirah selatan menjadi sirna, dan hanya ada dua bandar yaitu
Tallo dan Sombaopu, namun secara fisik sudah sulit dipisahkan karena wilayah
antara dua bandar itu telah menyatu dan tampak menjadi satu bandar yang
terbentang dari muara Sungai Bira (Sungai Tallo) hingga muara Sungai Jeneberang
yang dipenuh oleh para pedagang dari berbagai bandar niaga yang berpredikat
Makassar sebelumnya.
Kenyataan itu yang mendasari para pedagang itu menyebut bandar niaga Tallo dan Sombaopu itu dengan sebutan Bandar Makassar, dan tidak menyebut Tallo Makassar dan Sombaopu Makassar karena keduanya telah menyatu.
Sebutan yang sama
pula untuk menyebut dua kerajaan kembar yang telah membentuk persatuan itu dengan
Kerajaan Makassar, nama yang sama dengan penyebutan bandar niaga mereka. Dalam
struktur kerajaan kembar inilah dikenal raja Gowa menjadi raja atau kepala
kerajaan dan raja Tallo menjadi mangkubumi atau kepala pemerintahan kerajaan.
Kenyataan kesejarahan itu memberikan petunjuk pada kita bandar Sombaopu dan bandar Tallo menyatu menjadi satu bandar pada periode pemerintah raja Tunipalangga Ulaweng dan mangkubumi Mangaijoang Berang Tunipasuru (raja Tallo).
Bila dipertimbangkan setelah dua atau tiga tahun memerintah kemudian melakukan ekspedisi penaklukan selama kurang lebih 5 tahun, maka dapat diperkirakan bahwa setelah 8 tahun memerintah wilayah antara bandar Tallo dan Sombaopu telah dipenuhi oleh penduduk kerajaan taklukan yang bergiat dalam dunia maritim, dan dua bandar itu telah menyatu, dan berkedudukan sebagai satu-satunya bandar niaga di pesisir barat jazirah selatan. Berdasarkan pada perkiraan itu dapat dinyatakan bahwa Bandar Makassar telah terwujud sekitar tahun 1557.
Seiring dengan kebijakan menempatkan dan memusatkan kegiatan pelaut dan pedagang dari kerajaan-kerajaan taklukan pada bandar niaga Tallo dan Sombaopu sebagai satu-satunya pusat niaga, maka kerajaan kembar ini melaksanakan “kebijakan pintu terbuka” (open door policy) dengan menganut prinsip ‘laut bebas” (mare liberium).
Kebijakan itu melapangkan para pelaut dan pedagang yang bergiat dalam dunia perdagangan maritim di kawasan kepulauan ini berdatangan dan memohon izin menetap dan berniaga. Pedagang yang jauh sebelumnya telah menetap dan berniaga di sekitar Sombaopu adalah pedagang Portugis pada tahun 1532 (Erkelens, 1897: 82).
Kebijakan penaklukan dan
pemusatan kegiatan di bandar Gowa-Tallo itu berdampat pedagang Melayu, yang
sebelumnya bermukim di Bandar Siang (Pangkajene – Bungoro) memohon izin untuk
menetap dan berniaga di Makassar. Dalam perkembangan kemudian datang pula
pedagang-pedagang lain, seperti Belanda (VOC) pada 1603, Inggeris (1613),
Spanyol (1615), Denmark (1618) dan Cina (1618). Berkumpulnya para pedagang di
bandar ini behasil mneningkatkan statusnya menjadi bandar transito
internasional terpenting dan terutama ketika itu.
Anthony Reid yang meneliti dan mengkaji perkembangan perdagangan Makassar sebelum Perang Makassar (1666-1667; 1668-1669) berkesimpulan bahwa sejarah pertumbuhan perdagangan Makassar menampilkan kisah kemajuan dan keberhasilan yang tiada bandingnya dalam sejarah Indonesia (Reid, 1983: 117).
Bandar Makassar tumbuh dan maju dengan pesat dalam dunia perdagangan, menjadi pusat tujuan niaga bagi semua pedagang yang bergiat dalam dunia perdagangan maritim di kawasan kepulauan Indonesia. Pedagang Eropa dan timur asing lainnya yang datang berniaga dan menetap di bandar ini merasakan keamanan mereka terlindung dan penuh kedamaian.
Itulah sebabnya mereka memaparkan dalam laporan bahwa raja
dan penguasa kerajaan ini melayani semua pedagang asing dengan adil tanpa
membeda-bedakan dan bersikap sangat toleransi dan simpati serta suka memaafkan
(Stapel, 1922: 9).
Selanjutnya.... Tantangan bagi Makassar Sebagai Bandar Internasional Abad 17 - Arung Makassar (arungsejarah.com)
Sebelumnya.... Makassar, Kota Niaga dan Maritim - Arung Makassar (arungsejarah.com)
[1] Menurut catatan sejarah raja Kerajaan Tallo yang
pertama, Kareng Lowe ri Sero adalah saudara kandung dari raja Gowa VII, Batara
Gowa., putera dari raja Gowa VI, Tunatangkalopi (1445-1460). Kisah tentang dua
kerajaan tetangga ini terdapat dua versi. Versi pertama mengkisahkan bahwa
kedua putera raja ini selalu berselisi. Karena itu sebelum meninggal ia membagi
wilayah kerajaannya kepada dua puteranya. Batara Gowa menjadi raja darui
wilayah yang dikenal dengan Kerajaan Gowa, sementara adiknya menjadi raja atas
wilayah yang kemudian disebut Kerajaan Tallo. Versi lain mengkisahkan bahwa
sebelum raja mangkat ia telah berpesan agar Karaeng lowe ri Sero yang kelak
menggantikannya. Ketika raja meninggal putera tertuanya, Batara Gowa bertindak
merebut ornamen kerajaan (Sudanga) sehingga dewan kerajaan mengakauinya sebagai
raja. Akibatnya adiknya meninggalkan kerajaan itu dan pergi menetap di
Pacinnang. Katika kehadirannya itu dikethui oleh para gelang di wilayah Bira,
empat galarang bersepakat untuk menobatkannya menjadi raja. Tawaran itu
diterima, sehingga mereka bergiat membangun istana kerajaan di wilayah pesisir
pada muara Sungai Bira yang dikenal dengan nama hutan Tolloang. Dari nama hutan
itulah kemudian kerjaan yang didirikan itu dunamakan Kerajaan Tallo,