Pelabuhan Bebas dan Perdagangan Internasional Makassar Abad ke-19 (2)
MAKASSAR.ARUNGSEJARAH.COM - Pelabuhan Bebas dan Perdagangan Internasional Makassar Abad ke-19 (2).
Pada 1869, perdagangan semakin meningkat dampak pembukaan Terusan Suez. Itulah sebabnya pada 1875 jalur NISM diperluas di sepanjang pantai Kalimantan Timur, Sulawesi bagian barat, Maluku, Nusa Tenggara.
Perluasan jalur pada 1880 menambahkan jumlah pelabuhan yang dikunjungi yaitu jalur yang menghubungkan Surabaya dan Makassar, pantai utara dan barat Sulawesi.
Selain itu terdapat jalur yang menghubungkan Makassar dan Kepulauaan Sunda kecil dan berbagai jalur kecil di Sulawesi Selatan serta terdapat jalur yang menyinggahi Sinjai, Palopo, Kendari, Selayar dan Makassar.
Pada pertengahan abad ke-19, ketika perkebunan di Jawa mengalami perkembangan pesat di bawah Sistem Tanam Paksa, di wilayah lain justru terjadi sebaliknya. Di Maluku, yang pada periode sebelumnya merupakan daerah primadona bagi Belanda, mulai terasakan terjadi penurunan ekonomi yang signifikan.
Untuk menggairahkan ekonomi di kawasan Timur Besar pada pertengahan kedua abad itu, pemerintah membentuk pelabuhan bebas di Makassar pada 1847 dan melepaskan monopoli atas rempah-rempah pada 1864.
Kebijakan Pemerintah Belanda terkait pembukaan pelabuhan bebas di Makassar (1847) adalah sebagai berikut.
1. Perahu besar yang tiba di Makassar dari pantai-pantai, bebas dari semua cukai impor barang kerajinan penduduk.
2. Perahu besar yang meninggalkan ibu kota Makassar sepenuhnya dibebaskan cukai ekspor bagi barang-barang yang dibeli di Makassar asalkan ada penyampaian bahwa muatan barang itu akan dibawa ke pelabuhan pantai di sekitar Makassar.
3. Perahu yang berangkat ke pulau-pulau di bawah wewenang pemerintah.
4. Teripang dan agar-agar akan dibebaskan dari cukai impor. Semua perahu pantai akan dilengkapi dengan surat izin tahunan yang mereka bawa sesuai dengan aturan perdagangan di Makassar apakah untuk perdagangan atau menangkap ikan. Perahu yang berbobot setengah koyang atau kurang harus membayar 1 gulden dan perahu yang berbobot dua koyang sebesar 2 gulden. Perahu yang berbobot lebih dua koyang tidak digunakan bagi pelayaran pantai.
5. Semua perahu yang ditemukan tanpa surat izin akan disita.
6. Mereka harus memenuhi semua persyaratan, tetapi di tempat penyitaan tidak bisa membawa barang dari atau ke kapal perahu besar menuju pelabuhan dan tujuan bendahara penerima cukai impor dan ekspor.
7. Perahu yang tiba di Makassar dari pulau-pulau dibebaskan pembayaran cukai asalkan dilengkapi dengan surat izin bahwa cukai keluar telah dibayar.
Kebijakan pelabuhan bebas Makassar ternyata tidak serta merta berjalan mulus. Kebijakan tersebut masih berlaku terbatas terutama bagi pedagang Eropa. Hal itu memunculkan berbagai tuntutan pedagang lain non-Eropa terutama pedagang Cina.
Para pedagang Cina meminta kepada Gubernur Sulawesi dan Daerah Taklukannya (Celebes Onderhoorigheiden) untuk menurunkan pajak pelabuhan bagi kapal-kapal pantai (bukan kapal besar perairan samudra) agar perdagangan barang-barang yang didapat dari daerah-daerah pedalaman menjadi lebih bergairah.
Pertama, pedalaman Bugis Makassar seharusnya dibebaskan dari semua pembayaran cukai ekspor dan impor, kecuali cukai impor akan dipungut dari tempat-tempat lain di luar Jawa. Kedua, tidak akan dipungut bayaran atas tempat-tempat barang itu diimpor dari ibu kota Makassar.
Untuk persaingan dengan pihak asing, terutama terkait pelayaran dan perdagangan internasional, pengangkutan barang di Sulawesi dengan kapal-kapal asing sangat penting sejauh kapal-kapal itu diberikan izin dan diatur dengan ketat cara pelaksanaan perdagangannya agar tidak merugikan kapal-kapal pantai.
Sejak dahulu pelayaran pantai di bawah bendera asing sering mengalami hambatan atau pembatasan. Undang-undang perkapalan 1850 dengan tegas mempertahankan pelayaran pantai menurut bendera nasional dan khusus bagi perahu pribumi, dan situasi merkantilisme lama tetap dipertahankan, yang pada 1818 kembali diterapkan untuk Jawa dan Madura, dan pada 1825 untuk wilayah lain (pelayaran pantai di Hindia Belanda dimuat dalam Traktat London, 17 Maret 1824).
Namun penutupan terhadap kapal asing dalam pelayaran pantai mengalami penurunan tajam pada 1858 dengan suatu ketentuan yang dikeluarkan pada tahun itu, yang hanya mencakup pelabuhan-pelabuhan di daerah yang diletakkan di bawah pemerintahan Belanda.
Pelabuhan-pelabuhan tradisional di wilayah swatantra (seluruhnya jauh lebih luas daripada daerah yang diperintah secara langsung) sejak itu tidak lagi berada di bawah larangan pelayaran pantai asing.
Ketentuan itu perlahan-lahan meluas pada pertengahan kedua abad ke-19 dan awal abad ke-20 ketika pemerintah Hindia Belanda memperluas kekuasaannya dan menempatkan lebih banyak daerah di bawah pemerintahan langsung dengan dampak sebagian bisa diatasi karena lebih banyak pelabuhan bagi perdagangan umum dan juga bagi kapal-kapal milik negara-negara sahabat dan sejumlah besar dari pelabuhan itu dibuka untuk pelayaran pantai asing.
Sebelumnya.... Pelabuhan Bebas dan Perdagangan Internasional Makassar Abad ke-19 (1) - Arung Makassar (arungsejarah.com)